casa de yarra

i scrubbed two years clean

off the wastafel

the toilet seat

the shower curtains

the bathroom mirror

flecked with toothpaste

smudged with

my fingerprints

from trying to clean it

i ran wet wipes

on the window sill

picked black lints

with bare fingers

shook curtains

with verve

what’s left from life

let billions of dust specks

go up my nostrils

hit me

with your best shot

i remember

ages ago

a landlord admonished me

why is there still dust

on the window sill?

and she ran a finger along it

then looked deep

into the tip

meditationes de prima

mr clean

i don’t want admonition

i ran my hands

along the top

of cupboards

bedside drawers

the tv hung on the wall

i wiped em clean

on my real mccoy

cargo shorts

“papa kenapa

masih bersih-bersih?”

“nggak papa nak

kasian nanti kan

orang baru yang nempatin”

lit progens

terpicu (btw, sejak kapan “terpantik” mulai membunuh “terpicu” pelan-pelan?) oleh post nike, aku juga jadi ingin bercerita tentang orang-orang (ada juga sih yang bukan orang) yang bikin aku jadi ingin membaca, entah mulai membaca, atau membaca sesuatu yang lain, atau membaca hal-hal yang sama dengan cara yang berbeda.

list berikut in no particular order:

1. penny joy

ini guru sma-ku di narrabundah college, canberra. sekolah ini sekolah eksperimental yang membolehkan murid-muridnya ngapain aja bahkan take drugs asal outside school grounds. jadi cricket oval di sebelah jadi tempat favorit buat punch cones atau munch on acid blots. kemudian kembali ke kelas untuk mengikuti lesson world lit bersama penny joy. penny wasn’t that good of a teacher sebenernya, i never really learnt anything from her. pas kelas dua dan harus ganti guru, namanya bev hamilton, guru tipe governess yang menyetir mobil fiat unonya pakai sarung tangan kulit dan who actually told us what modernism was, where pound got his idea for imagism from, what did mr darcy really represent, i was like, wow, i’m actually learning something! tapi i don’t know, i kinda liked penny’s attitude to literature. she was the one who dragged all her students to sit through a reading by another english teacher at the school, geoff page, di sebuah trip ke south coast untuk kelas theory of knowledge (narrabundah juga menyediakan kelas filsafat ini tiap kamis siang buat nerds yang terlalu malas ikut kelas olahraga). geoff was a nice guy, i liked his approaches to lit class, but i didn’t know then he was actually one of australia’s greatest poets! like ever! aku baru tahu itu setelah lulus dari narrabundah. i was totally stoned waktu dengerin geoff membaca puisi-puisinya dengan suaranya yang pelan dan logat aussienya yang kental buat standar canberra, but i remember i was kinda enyoing it. (temanku alex hampir menghentikan pembacaan ini dengan memecahkan kaca jendela shed tempat geoff membaca karena dia mengetoknya terlalu keras (he was so stoned dia pikir itu pintu).) penny juga yang dengan entengnya bilang dia nggak sepenuhnya mengerti objective correlatives dalam puisi-puisinya eliot sebenernya apaan. dia juga membiarkan aku bikin presentasi tentang paradigm shift dengan contoh penataran P4. dia juga yang mengajak anak-anak nonton aja telemovie chronicle of a death foretold daripada baca bukunya. dia juga yang mengajak anak-anak meneriakkan “things fall apart! things fall apart! things fall apart!” at the top of our lungs di dalam kelas. entah apa gunanya itu untuk lebih mengerti chinua achebe, tapi “things fall apart!” did become a catchphrase for us kids for the next two years, to be employed whenever we needed it, or whenever we didn’t. entah kenapa, penny justru membuatku ingin membaca buku-buku yang dia malas ajarkan. since she never told us what prufrock was all about, not only did i memorize the poem by heart, aku juga jadi mencari di perpustakaan buku-buku tentang objective correlatives eliot. dia juga membuat lit jadi sesuatu yang bukan-sakral, aku jadi bisa menonton film macbeth (versi polanski karena lady macbethnya so bae — it’s a playboy production no wonder!) tanpa merasa bersalah kenapa aku ga baca bukunya (dan akhirnya jadi ingin sendiri baca bukunya setelah menonton filmnya). that reading by geoff page juga akhirnya jadi momen penting dalam bagaimana aku mengembangkan pandanganku tentang puisi. it’s a lonely job, no one ever pays attention, but somebody’s gotta do it. penny juga pernah membawa anak-anak ke sebuah hutan pinus untuk menulis esei tentang i can’t remember what, tapi aku juga jadi belajar dari dia, there’s so much more to life than a desk, pen and paper (waktu itu kami belum selalu menulis semuanya di komputer). i don’t know, i suppose her blasé, and yes, joyless attitude about lit was just the thing i needed at an impressionable age when i was just starting to seriously think about taking myself too seriously.

2. andrew cox

andrew adalah vokalis band dari brisbane, the fauves. dari namanya aja kita udah tahu, pasti artsy, mungkin fartsy. tapi ternyata band-nya kocak, walaupun usahanya untuk ngepop secara kaffah sebenernya bentuk sebuah kehiperintelektualitasan juga. lirik-lirik lagunya memang poetic (“dogs are the best people”, “don’t get death threats anymore”, “understanding kyuss” — “crank it up i really like that bit, fuck that riff sounds really sick” (sing it in an aussie accent and the half-rhyme between “bit” and “sick” really jumps at ya)), tapi aku belajar banyak tentang menulis dan secara tidak langsung (atau langsung sih kalau kayak gini?) tentang membaca — if you know how to write then you know what to look for when you read — justru dari zine yang dulu dia produksi secara sporadis berjudul “shred” (judul ini ditulis dengan greek font di sampulnya). i used to spend every morning at the nsw state library before i began my research into my soon-to-be-abandoned phd reading shred and working out how andrew writes his sardonic reflections on band life. salah satu artikel di shred ada yang membahas tentang nicholson baker, penulis cerpen/novel amerika, yang terkenal dengan novel/la “the mezzanine” yang ceritanya cuma tentang seorang kantoran yang tali sepatunya lepas terus mau beli tali sepatu baru pas makan siang, tapi dipanjang-panjangin banget (i loved it). dari situ aku jadi baca hampir semua buku nicholson baker, selain the mezzanine ada juga novella lagi, “room temperature”, dengan strategi yang sama, cuma kisah seorang bapak berusaha menyusui anaknya pakai botol (ofkors) tapi berlembar-lembar. juga ada “double fold”, buku nonfiksinya tentang what we’re gonna miss when we digitize all books (!). (“double fold” adalah test yang dilakukan pengarsip buat menentukan kertas sudah terlalu fragile atau tidak, dilipat dua kali kayak waktu kita nandain halaman buku, ke depan dan ke belakang, kalau kertasnya robek berarti udah perlu didigitalisasi.) tapi yang akhirnya paling berpengaruh dalam hidupku adalah membaca “u & i”, tribute nicholson baker ke john updike, lit progenitor dia, di mana dia cerita tentang setiap kali dia mau menulis, terutama sebuah metafor atau figure of speech apalah, ternyata john updike udah pernah menulis hal yang sama. sebuah kisah horor tragedi and the individual talent, haha. nah di buku ini ada satu frase dari updike yang diquote oleh baker yang kemudian bukan hanya membuat gue obsessed with updike for years, tapi juga led me… to poetry! sampai sekarang aku masih inget: “vast dying sea of boredom”. awalnya aku, sama seperti baker, terobsesi dengan anatomi frase ini, sebuah laut yang gede banget, maybe a samudera, tapi dah mau metong, but not quite the dead sea, karena bosen. sebuah samudera busuk penuh kebosanan. sebuah samudera kebosanan yang dying. is that poetry? i didn’t know. but it made me obsessed with language, with trying to collect similar beautiful turns of phrase — aku masih inget dave eggers’ “parachute pants of your soul” — dan, eventually, with making ones of my own. later on, aku sadar, poetry is not about making up stuff, let alone making up pretty phrases (hello adimas immanuel), tapi i wouldn’t have gotten here without sailing slowly through this vast dying sea of boredom of being obsessed with purple prose.

3. anya rompas

my wife. lewat dia aku menemukan kembali ketertarikan akan theory. gara-gara tiga tahun belajar filsafat yang entah kenapa dalam ingatanku isinya filsuf jerman semua (that dill dilthey! zzz hermeneutics germ-eneutics!), aku lama jadi alergi dengan theory. a crock of shit lah. tapi mendengarkan kadang-kadang istriku yang tidak banyak bicara di meja sarapan dengan tenang dan dengan suaranya yang melodious dan pikirannya yang runut membedah anything dari sekar ayu asmara sampai jakarta dengan teori-teori gothic aku nggak bisa tidak terpesona. she so pretty. eh. she showed me how important theory can be bahkan, atau malah especially, in a world so chaotic like the one i’m living in right now. (hello ciledug, hello cemput.) jadi aku baca aja semua buku-buku gothic theory dia, dari primer “gothic” fred botting sampai “the dead mother: the work of andré green”. yang terakhir ini lebih psychoanalysis sih, dan ternyata anya punya banyak banget buku tentang psychoanalysis, “on private madness” salah satu kaporitku. aku juga jadi baca banyak novel gothic yang jadi bacaan wajib dia waktu kuliah s2 (the monk! more madness!). aku pikir lucu waktu itu wah ternyata istriku yang cantik mempesona is obsessed with madness, the ugly, unseen side of us peeps. tapi ini ternyata sangat membantuku mengerti dia saat years later she had a nervous breakdown, sampai masuk ugd dua kali, dan kemudian didiagnosa dengan bipolar, awalnya non-spesifik, kemudian type 2. it all makes sense, her fall into madness, when it happened, reminded me so much of all the crazy stuff that happened to matilda in the monk. but one thing, maybe this is a bit of an exaggeration, but having tried to work out how her mind works while reading all the books she has in her collection, terutama buku-buku teori dan novel gothic dan teori-teori psychonalysis, sangat membantuku mengerti dia waktu mengalami breakdown, dan strangely, membuatku calm dan tidak merasa takut menghadapi kondisi yang gilak gilak gilak itu (pun always already intended). no worries, i’ve seen all this happened in the monk!

4. superdenim

it’s a denim forum on superfuture. aku pernah bekerja buat majalah a+ di tahun 2000-an dan aku ingat pernah bikin tulisan tentang superfuture, tentang the brave new world of supershoppers (ngekos kamar mandi luar di setiabudi, tapi tiap tahun ke nagri). years later, dalam my eternal search for the perfect pair of denim, i ended up on this forum. sebenernya asiknya dari forum ini adalah aku jadi bisa lari dari dunia buku, buku, buku, musik, film, buku, buku yang mendominasi hidupku. aku bisa vague out for hours just looking at pics of denim fadez. selain itu aku juga jadi develop skills membaca majalah lightning in japanese tanpa pernah belajar kanji wkwkwku. dan selain itu semua, yang paling penting mungkin aku jadi membaca banyak, mengerti, dan mempercayai konsep wabi-sabi dan mono no aware. a bit trendy, tapi buatku yang konsumeristik (that supershopper was moi!) ini beneran membantu. aku pernah punya vespa warna biru telur metalik yang kunamai tante sophie dan tadinya aku hampir jadi gila (dan bangkrut) mencoba menjaganya agar tetap kinclong (sama kayak tante sophie berusaha setengah mati menjaga kemurnian darah belanda-perancis dinastinya!) padahal setiap hari commute ciledug-blok m (mono, not aware! sama kayak tante sophie yang hobinya dipijet dan makan rujak di kasur). setelah aku melihat sendiri the evolution of a pair of jeans from raw to “habis darahnya” is inevitable, aku jadi gak sesetres itu lagi.

5. endang johani

my mum. waktu aku kecil, sampai umur 9, dia seorang dokter umum di kajang kemudian jogobayan di madiun coret. dia berlangganan bobo, bimba, femina, kartini, dan tempo. favoritku cerita si ipul di bimba, cerita-cerita curhat di kartini (yang aku paling ingat seorang suami yang mengeluh dia memergoki dari balik jendela istrinya yang sedang hamil ngewi sama cowok lain, tapi dia gak berani negur. (mending kirim aja surat pembaca ke kartini!) kemudian kolom kriminal tempo, omg, best writing ever. remember misteri pembunuhan peragawati dietje oleh mystery man “pakde”? selain itu ibuku, aku memanggilnya mama, juga membawaku naik jip jimny biru donker berstrip kuning di atapnya, nyetir sendiri, ke sebuah toko atk di pasar kawak di madiun kota yang menjual cuma satu judul buku, seri rumah kecil. waktu itu seri ini baru mulai diterjemahkan (halo djokolelono mai laf) dan diterbitkan oleh bpk gunung mulia, jadi setelah membeli rumah kecil di rimba besar kami suka datang ke toko itu berharap-harap bahwa judul selanjutnya sudah sampai ke madiun dan kalau ternyata belum terus beli pensil 2b atau setip. sebagai anak ndeso yang sekolah di kota aku super relate banget dengan segala insecurities laura ingalls. lucunya, bertahun-tahun kemudian aku membeli lagi semua buku di seri rumah kecil ini, masih dengan sampul yang sama, dari toko buku pusat bpk gunung mulia di kwitang (buku-bukunya disimpan di bagian bacaan sekolah minggu), dan setelah membaca semuanya kembali aku baru sadar, laura! all those insecurities turned you into such a bitter bitch! *ngaca*

trrrkk

peeps in hospital masks walk up and down

rubbish bins suspended in mid air

the muzak plays your arteries

like Shakespeare

i know i’m not alone

i wipe tears off my brow

with the back of my hand

someone was buying a ketoprak

for someone else and

he had his head

blown off with a shotgun

not far from here

i don’t care i love it

i don’t care

the sun

bounces off You, Eminence

an Afghan refugee

wipes sleep

off his eyes and leans

the entirety of his being

on a mini

Hello Kitty suitcase

the warung sate has been rooted to the same spot

for time immemorial

which side of Wahid Hasyim am i in?

the less fun side

where ghosts of orange bajajs

rev their engine

inifinitesimal

IOU

the night is decrepit. tempus, fuck it. i needed to know, now, i know. come closer. justice for the nonce, meng? cor, blimey. quiz me on vices, orthodoxies, proprieties, o seed of love!

the pier is rotting, your pretty feet, a saving grace. banish me to the realm of letters, imbibe regret with every oxford comma. nona, je ne regrette rien. pick a closure, better yet, no, not yet. quick, to the zoo, the elephants are crushing foxes!

xanadu, what brings you? amazing pout you concoct out of thin air. why quit this play of shadows, i’m salivating still. thou shalt not, kill kill kill!

supren

let me please break down says the muzak the cockerel the bowls the green the beans the chicken porridge the plate the brie enjoy nothing regret nothing

chop chop chop the livers the gizzards the hearts the lungs chop chop chop the days the weeks hyperloop the years

the sun adamantine the deli adamantine the central bank adamantine the son the holy ghost atnas aisereht adamantine

it wasn’t a bee meeting i went to it was a wake why am i not cold blood sweat blood can you see my nipples under my tee shirt tee hee hee

chop chop chop the sun the bee the cold the sweat blood sweat can you hear the muzak under my tee shirt

it wasn’t the cockerel i ate from it wasn’t the green bean soup was it the chicken porridge was it you my love adamantine

the head can flake can ripple can lie did it ever occur to you the floor was icy cold did it ever occur to you the morning the cars the smell of exhaust smoke under my armpits

friday is the vilest day of the week inhale the rotten banana leaves exhale margarined pancakes does this touch you the smell of burnt meats

the son the sun the central deli adamant this is the cruelest deal of the year let me ripple lie break the head icy cold no

khob khun ka apa itu papa i want to watch kubo in the dark the witches are scary they’re going to take my soul why papa

the eyes the eye the one eyed monsters everything feels as if underwater the bar flap the tanker the street named after a bird kucluk kucluk kucluk

stay awake the economy loves you pak sumo nggak dateng nih nak how many ayams did you see them their feathers icy white

Stop asking is this puisi, no one’s interested in your answer

image2Ditulis untuk Kongkow Jawara Puisi
di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Dewan Kesenian Jakarta
14 Desember 2016

Sebuah sayembara puisi hanyalah een rimpeltje in de oceaan, a ripple in the ocean, sebuah riak di tengah samudra usaha kanonisasi Puisi Indonesia, proses yang tak bosan-bosannya berlangsung sejak skena Pujangga Lama sampai sekarang skena Pujangga Hallmark.

Termasuk juga Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015 kemarin. Bukan berarti itu hal yang buruk, tapi kita harus sadar sayembara ini dan sayembara-sayembara puisi lain yang ternyata banyak sekali jumlahnya hanyalah salah satu dari banyak usaha untuk mengkanonisasi Puisi Indonesia — yang sampai sekarang belum tersusun juga, wherefore art thou HB Jassin? Does the HB in yer name stand for Harold Bloom?

Ya, ada banyak Paus dalam Puisi Indonesia, ada Khatulistiwa Literary Award/Kusala Sastra Khatulistiwa, ada rak-rak best seller di Gramedia (yang jika kita percayai kuasanya berarti karya kanon saat ini bahkan tidak berbahasa Indonesia *show crowd Lala Bohang’s The Book of Forbidden Feelings*), ada Instagram dan Twitter yang melahirkan Instapoets dan beribu-ribu kalimat mutiara siap-retweet yang niscaya diakui sebagai puisi jika followersmu lebih dari 100K, ada juga kurator-kurator partikelir yang dengan tekun memilih puisi-puisi yang mereka anggap bagus, baik itu dari buku, jurnal, majalah, atau tong sampah buat direkomendasikan ke teman, ada juga kurator-kurator ambtenaar seperti Komite Buku Nasional yang dengan tekun memilih puisi-puisi teman-teman mereka sendiri tanpa kriteria yang jelas untuk dijual di bukalapak Frankfurt Book Fair, dan jangan lupa Goodreads, yang mewakili kurator sastra paling akar rumput itu — pembaca — yang baru saja mengkanonisasi buku movie tie-in pesanan dan pengrajinnya (Tidak Ada New York Hari Ini @hurufkecil) sebagai buku puisi dan penyair paling “it was amazing” di tahun 2016.

Semua Paus-Paus Puisi Indonesia di atas bersaing mengkanonisasi Puisi Indonesia tapi juga bekerja keroyokan sebenarnya. Aku ingin hidup seribu tahun lagi, biar tahu hasilnya. Tidak semua orang seberuntung Shakespeare, mati tanpa meninggalkan haterz. Kebanyakan dari kita adalah Geraldine Kim. Siapa itu? Exactly.

Lima belas tahun lalu, tahun 2001, terakhir kali Sayembara Puisi DKJ diadakan, pemenangnya 1, 2, 3 adalah Zeffry J. Alkatiri, Dorothea Rosa Herliany, dan Joko Pinurbo. Zeffry buat saya patut jadi Santo, bukan cuma dikanonisasi, tapi apakah pembaca Goodreads akan setuju dengan saya? Dorothea menang KLA juga di tahun 2006, tapi ada yang ingat dia menang untuk buku puisinya yang mana? Hanya Joko Pinurbo, yang sebenarnya sudah menerbitkan kumpulan puisinya Celana yang fenomenal itu dua tahun sebelum menang juara ketiga di sayembara puisi DKJ, namasarungnya masih berkibar sampai sekarang.

Singkat kata, menyitir Jokpin sendiri, kanonisasi Puisi Indonesia adalah ranjang yang rawan kekuasaan — tidak jelas siapa yang paling berkuasa, pembacakah? Gramediakah? Kompas dan Kortem Minggukah? — dan zonder kejelasan.

‘No man is listening’: Sergius Mencari Bacchus Norman Erikson Pasaribu dan absennya queer poetry dalam Sastra Indonesia

Buku ini tentang perjuangan seorang queer mencari payung rohani yang tepat untuknya.

Queer poetry bukan sub-genre yang gampang didefinisikan, para queer poets pun seringkali masih cat fight tentang definisinya, bahkan tentang pantas tidaknya label itu buat mereka sendiri.

Tapi jika melihatnya dari sisi teori, puisi queer bisa paling tidak dideskripsikan sebagai puisi yang menginvestigasi dan mengkritik konstruksi sosial dan moral yang (hetero)normatif dari perspektif seorang queer.

Dari sisi praktis, queer poetry sebenarnya tidak ada bedanya dengan puisi agamis, puisi négritude, puisi eksil — puisinya (harus) ada karena komunitasnya (selalu) ada.

Di Indonesia, komunitas queer (atau LGBT) selalu ada sehardcore apapun masyarakat atau NKRI berusaha merepresinya. Tapi dalam skena mainstream Puisi Indonesia, tidak seperti dalam film atau musik, atau bahkan cerpen dan novel, queer poetry sejak beberapa tembang dalam Serat Centhini (yang saya tahu, karena saya orang Jawir, tidak menutup kemungkinan ada syair-syair pra-Indonesia lain yang bertema queer) tidak pernah ada lagi.

Hingga Sergius Mencari Bacchus. Dengan segala kegalauan asmara, karir, dan rohani yang ditumpahkan dalam sebuah tragedi (reference ke sepuh tragedi Yunani Kuno Aeschylus, checked! — “Sebelum Aeschylus”) traveling dari Inferno ke Purgatorio lupa stopover di Paradiso, tapi dengan nada komik seperti “Serial TV Komedi”.

Investigasi psychoanalysis-lite tentang identitas LGBT si aku, hubungannya dengan keluarganya — the abusive emotionally absent father, the depressed mother, ke-Batak-annya, ke-Kristen-annya — yang ditulis menjadi pseudo-otobiografi/mock-memoir rasanya sangat kekinian. Ingat A Heartbreaking Work of Staggering Genius Dave Eggers? Sergius Mencari Bacchus mungkin bisa diberi subjudul A Heartbreaking Work of a STAN Genius.

Bentuk emo-memoar Sergius Mencari Bachhus menunjukkan Norman adalah bagian dari generasi penulis Indonesia yang besar dengan pengarang-pengarang alt-everything post-McSweeney’s seperti Miranda July dan Tao Lin, yang luwes menggabungkan kengehekan ala Puisi Mbeling dengan kegalauan emo ala Dashboard Confessionals. Ke dalam campuran itu, Norman menambahkan dimensi kereligiusan (e.g. “tuhan yang bercabang tiga — seperti pohon”, “Ia dan Pohon” — confessional confessionals?).

Referensi-referensi pop sekaligus high culture yang bertaburan di mana-mana (mengingatkan akan kumpulan puisi “Digest” Gregory Pardlo yang dikutip Norman di awal buku ini) memberikan petunjuk tentang tema-tema queerohaniannya, dari Summa Theologiae Thomas Aquinas (“Perihal Keagungan Puisi”) sampai film gay advocacy Prayers for Bobby (“Aubade”).

Gaya berpuisi Norman, free verse yang sangat terkontrol sehingga kadang-kadang bisa terasa mencekik — very Poetry Foundation — sebenarnya tidak baru-baru amat. Bahkan di tengah-tengah badai Awkarin x Young Lex x Roy Ricardo bisa terdengar agak old-fashioned. Sementara argumen-argumennya di beberapa tempat agak terlalu insular, seperti kebelet come out tapi juga keasyikan menyembunyikannya dalam kode-kode dan superstruktur yang asoy, tapi mungkin malah mengalienasi.

Tapi di tengah-tengah dunia Puisi Indonesia yang sangat heteronormatif, di mana bahkan penyair-penyairnya bisa permisif terhadap rapists, Sergius Mencari Bacchus menjadi buku puisi yang sangat penting karena ia mendobrak tabu tentang tema queer dalam Puisi Indonesia. A queer pioneer.

Tradisi dan suara individu dalam Kawitan Ni Made Purnama Sari

Buku ini tentang seorang penyair yang mencari asal muasal kepenyairannya dan berakhir dengan penemuan dirinya sendiri.

Kawitan adalah CSI: PUISI Purnama terhadap segala macam anxiety of influence-nya, puisi-puisi dalam sejarah Puisi Indonesia mana saja yang menjadi parent-poem puisi-puisinya, di manakah the beginning (Kawitan!) karir puisinya (karena sebelum sayembara DKJ tahun lalu, hanya Purnama yang bisa dibilang sudah punya karir sebagai penyair dalam skena mainstream Puisi Indonesia).

“Tak ada penyair… yang memiliki maknanya sendiri. Penting tidaknya dia, apresiasi atasnya, dilihat berdasarkan relasinya dengan para penyair… yang sudah mati. … Ini adalah prinsip kritik estetik, tidak sekedar kritik historis.” (T.S. Eliot, “Tradition and the Individual Talent”, terjemahan Saut Situmorang, “Tradisi dan Bakat Individu”, dalam Politik Sastra) Jadi, siapa/apakah/di mana(saja)kah kawitan Purnama?

Apakah mbok-mboknya di skena puisi Bali, penyair-penyair perempuan dari the Bali School yang salah satu ciri khasnya adalah intensitas emosi yang dalam?

Bandingkan:

“Sesekali hawa dingin mengembus wajah.
Aku ingin membenamkannya di jantungku.

Kurasakan udara tak lagi memberi nafas.
Kau sentuh kulitku. Dan kulitku
segera menghijau.” (puisi 15, dalam “Saiban” Oka Rusmini)

dengan

“mengapa selalu ada pertanyaan
tentang kesetiaan
mengapa selalu saja ada simpul mematikan
jika ikatan jadi menyakitkan” (“Sinta”, Ida Ayu Oka Suwati Sideman)

dengan

“Daunku yang hijau lebat
Dulu menaungi kumpulan sarang semut
Tidur berlindung di lelap akarku” (“Bayam Pasar Banjaran”, Ni Made Purnama Sari)

Atau Sitor, tempat Purnama menginap “cuma dua malam di Paslaan [Straat]”?

Kepada puisi simbolik a la Mallarmé Sitor yang terkenal, “Bunga”,

“Bunga di atas batu
Dibakar sepi

Mengatas indera
ia menanti”

Purnama menjawab (dengan teka-teki yang lebih metafisikal daripada simbolik):

“Bagaimana aku dapat melihat sekuntum bunga?

Lambat laun aku akan serupa batu-batu” (“Bunga untuk Sitor”)

Atau Chairil, parent-poet semua penyair Indonesia itu?

“Di stasiun karet aku menunggu bukan untuk chairil
…[yang] bercinta tak jemu di gerbong tua kereta

…[tapi] lalu kudengan kereta sayup mendekat
membuka pintunya di hadapanku
menampilkan ruang remang sepi penumpang” (“Doa Puisi”)

Seperti kita tahu, kereta adalah metafora Chairil untuk kematian, “gigi masa” yang jadwalnya lebih kacau lagi daripada commuter line, walaupun pasti, akhirnya, akan datang juga. Dan mungkin tradisi juga seperti kematian, yang tak akan bisa dihindari penyair siapapun, sepemberontak apapun (bahkan Afrizal Malna yang atap bahasanya sudah runtuh pun masih menulis pakai Bahasa Indonesia, masih sesuatu Indonesia!).

“Sisipkan arsip, siram tanaman, rawat kenangan”, tulis Purnama di “Salam Perpisahan dari Paslaan”. Purnama bukan Mbok Oka, bukan Sitor, bukan Chairil, tapi ketiga-tiganya. Mereka adalah “segugusan pakis dan rumput yang pelan-pelan melayu, melapuk jadi rabuk akar dahan, lalu tumbuh kembali sebagai pakis dan rumput yang lain” (“Matoa”). Sesuatu yang lain itulah suara individu Purnama.

Of woman born: domestic confessional poetry dari Toeti Heraty sampai Cyntha Hariadi

Buku ini adalah sebuah kelahiran kembali seorang perempuan dari menjadi seorang Ibu menjadi Aku lagi.

Seperti ditanyakan sendiri oleh penyairnya di puisi “Pertanyaan”: “Bila aku tak mampu lagi mencinta, bisakah aku hanya menjadi aku?”

Penyair perempuan adalah kaum yang (di)marginal(kan) dalam skena Penyair Indonesia, apalagi penyair perempuan yang menulis puisi tentang hal-hal yang dianggap sebagai hal-hal “perempuan”, dari mengurusi laundry, mengasuh anak, sampai mengurusi laundry lagi.

Di blurbs buku Nostalgi = Transendensi Toeti Heraty, tertulis klaim “penyair wanita Indonesia dapat dihitung dengan jari. Setelah berumah tangga, biasanya penyair wanita Indonesia memasuki ‘masa pensiun’ alias tidak menulis sajak lagi.”

Saya tidak percaya. Kemungkinan besar blurb seksis ini ditulis oleh seorang laki-laki yang tidak bisa menghitung jarinya sendiri. Isma Sawitri, Poppy D. Hutagalung, Rayani Sriwidodo, Toeti Heraty, Abidah El Khalieqi, Anil Hukma, Cok Sawitri, Dorothea Rosa Herliany, Medy Loekito, Nenden Lilis A., Oka Rusmini, Sirikit Syah, Dina Octaviani, Nur Wahida, Shantinned, Shinta Febriany, Putu Vivi Lestari. Itu sudah 17 nama! Dan baru yang dimuat dalam satu antologi Selendang Pelangi yang dikumpulkan Toeti Heraty sendiri.

Confessional poetry adalah puisi tentang kehidupan personal si “Aku,” jadi bukan (hanya) “Aku lirik”, tapi (juga) “Aku biopic”. Subyek confessional poetry adalah pengalaman-pengalaman pribadi, trauma, depresi, relationshits, yang diolah dalam gaya yang otobiografis.

Sajak-sajak confessional tentang pengalaman-pengalaman pribadi, depresi, trauma, histeria, sekaligus euforia menjadi Ibu dalam Ibu Mendulang Anak Berlari karya Cyntha Hariadi juga diolah dalam gaya otobiografis seperti ini. Banyak sekali puisi dalam buku ini ditulis dalam bentuk potongan-potongan jurnal, dongeng mini, to-do wejangan seorang Ibu tentang dan untuk anaknya, dialog antara Ibu dan Anak, atau lebih sering Ibu ngomong sendiri kepada anaknya yang belum bisa menjawab “segala kegelisahan si Ibu dengan kata-kata yang ia harapkan”. Sebuah Medela confessionals, if you will.

Secara filosofis cara Cyntha mengolah pengalaman-pengalamannya menjadi Ibu, menurut petunjuk yang diberikan dalam dua epigraf bukunya, dipengaruhi oleh Adrienne Rich, penyair dan feminis gelombang kedua legendaris yang juga menggunakan pengalamannya menjadi Ibu sebagai titik-loncat untuk mengkritisi ketimpangan antara pengalaman IRL menjadi Ibu dan idealisme tentang Ibu yang diciptakan dan dilestarikan oleh budaya yang patriarkal. Lebih Sylvia Plath daripada Female Daily!

“Darinya [hubungan Ibu-Anak] tumbuh akar kisah-kisah tentang
ketergantungan antar manusia yang paling dalam
dan keterasingan yang paling kelam.” (Adrienne Rich, Of Woman Born, diterjemahkan sendiri oleh Cyntha sebagai salah satu epigraf bukunya)

Of Woman Born adalah salah satu analisis feminis pertama tentang Ibuisme sebagai sebuah institusi. Seperti Ibu Mendulang Anak Berlari, Of Woman Born juga diawali dengan potongan-potongan jurnal Adrienne waktu membesarkan ketiga anaknya.
Bandingkan:

“My children cause me the most exquisite suffering of which I have any experience. It is the suffering of ambivalence: the murderous alternation between bitter resentment and raw-edged nerves, and blissful gratification and tenderness.” (Adrienne Rich, Of Woman Born)

dengan:

“Kepolosan yang selalu mengejutkan
seperti api disiram air meninggalkan ibu berasap.
Ibu berkata dalam hati
dekat bau tahi, jauh memang jadi wangi.” (“Hotel”)

atau

“… kau menjerit
seakan kau hendak kujerat.

… tubuhmu meronta
seakan aku hendak menyembelihmu.” (“Menghangatkanmu”)

Secara puitis, bisa ditarik benang merah dari puisi-puisi Toeti Heraty sampai ke puisi-puisi Cyntha. Keduanya menulis puisi-puisi confessional tentang kehidupan perempuan Jakarta kelas menengah (Cyntha) ke atas (Madame Toeti) dalam bahasa sehari-hari yang sarat ironi.
Bandingkan:

“hari ini minggu pagi kulihat tiga wanita tadi
berjalan lambat karena kainnya kain berwiru” (“Wanita”, Toeti Heraty)

dengan

“Wanita itu perkasa
rambutnya tak goyah menutupi mata…
pakaiannya licin dan berwibawa…
sepatunya lancip dan tinggi, ia sejajar dengan para lelaki.” (“Pergulatan”, Cyntha Hariadi — pergulatan dalam puisi ini sebenarnya antara superwanita/first-wave feminist di atas dengan sosok third-wave postcolonial femmo “perempuan baik [yang] rambutnya mengikuti arah angin, sepatunya datar, supaya dekat ke tanah dan sejajar dengan segala yang kecil…. Wanita itu dan perempuan ini orang yang sama”.)

Atau

“benda-benda mesra

bola usang dan beruang tercinta
sepatu merah yang telah lepas-lepas
kulitnya” (“Selesai”, Toeti Heraty)

dengan

“aneka boneka binatang ternak dan buas,
biskuit, separuh kepala, sebelah tangan
dan sebelah kakiku” (“Beres-beres”, Cyntha Hariadi)

Kedua penyair perempuan ini menulis tentang hal-hal dan peristiwa-peristiwa domestik yang tidak (dibolehkan) ambil bagian dalam dunia Puisi Indonesia, tentang cocktail party (Madame Toeti) dan spidol dan kertas (Cyntha), tentang cerita-cerita personal “remeh-temeh” yang mereka sulam/sulap menjadi kritik politik yang tajam terhadap (Puisi) Indonesia yang didominasi laki-laki. Cuplikan di bawah ini mungkin bisa dijadikan manifesto buat domestic confessional poets yang mengikuti jejak Toeti dan Cyntha di masa depan:

“Tulis apa saja yang ada di otakmu atau yang tak ada.
Aku pilih yang tak ada karena aku tahu sebenarnya ada.

lalu aku ingat: harus ambil cucian di bawah. (“Kosong”)

ramsay

hey, i went there again yesterday. about the same time we went there 11 years ago. same liquid yellow sun. same special fx glow on the leaves and the life of concrete around us. there is a flyover now where there was a railroad track. it was quiet there, unlike then when we visited. this time i was there to extend a life, we were there to end it. in the evening i imagined your soft breasts and floppy skin. i came, with regrets.

tewas 2

they’re all tevas to me. you might have a different name, but i have never remembered it.

do you think a bullet can bounce off a car window? the maître d’s cheong sam looked a bit dishevelled. two days ago.

she said my sentences run on to each other. some of them just don’t work. a crossing bridge collapses from a slowly alighting damp leaf.

i have never tried to work out the feelings i feel, writing in total darkness with my daughter’s leg akimbo over my belly. trust no bun.

thank you for the whisky. it helped me sleep in the middle of the night.

okay then, i should be off, searching for my imaginary lighter in the coin slots of your car. there was awkwardness, but we were chatting again on the dyke a couple of weeks later. all’s well that ends swells.

they’re all tevas to me. even your husband wears them. i heard he was too busy to notice you had decided not to wear your retainers anymore. the wind in the backyard blew the pages off your book.

i was dunny when i was depressed. yas, like dat. even the flashpackers french-kissing on the trottoirs refused to smile.

true blood at 9. laundry at 10. pick up the kid at half past, or quarter to, i am the only witness to my own life.

why am i cold. the water heater is turned up to ten. but this morning the news anchor delivered a red box with no pictures in it. have you woken up yet?

the trees look the same as they do in stockholm. the murray bros had kept their pistols wrapped up in old newspapers. the police discovered some of the pages were advertising old curtains.

the meadow has always been more fragrant than leatherwood. have you worked out the peat content? you should start taking your liver support twice a day to avoid zen burnout.

hayley is growing thinner and thinner soon there will be nothing left of her but an empty bottle of allure. eureka! you are disappearing into a terror. they are all tevas to me.

tidak ada poetry

sebuah lorong di bawah rel kereta api yang bukan tempat tinggalku, sampah yang menghitam dari api dan sikap acuh pejalan kaki, semprotan DDT yang sebentar aku kira asap sate, tidak ada poetry. aku berjalan tegap lurus ke depan, sol sepatuku kulit, hand-made, mengetuk aspal seperti bosan, tidak ada poetry. aku berjalan menggandeng anakku perempuan, menghindari tong sampah hijau, oranye, biru, organik, panik, ada atau tidak ada bajaj di depan, di belakang, tidak ada poetry. istriku takut sedih, takut lupa, takut daftar belanja luxola, rambutnya warna-warni seperti rumah gaudi, tidak ada poetry. aku berjalan menggandeng istriku, di sebuah lorong di bawah mall yang bukan poetryku, menghindari sampah warna-warni yang bosan, menghitam, tidak ada poetry.

cultuurstelsel

after a great pooling/unspooling of energy, the room tried to contain xerxes, music in hyper slo-mo, no music but the afternoon light, propeller blades bouncing off each other. listen to intelligent, oversmart/obtuse, dance music. what do you do exactly when you reappropriate the ancients? after a great pooling/unspooling of energy, a hand gesture there, a stalking posture there, the neon lights baulked at the calls to prayer. listen to the soft sound of propeller blades breaking off a crankshaft. rarefied the air, rarefied the pale green chairs stomped by military men’s steel-capped boots.