tik-tik-tik.
‘pernah menghitung air hujan?’
‘aku belum edan.’
bunga mata sapi bergoyang dangdut bersama angin.
‘goyangannya salah. itu tango, bukan yang kuajarkan kemarin.’ aku mencoba marah kepada pohon setinggi lutut itu.
‘kemarin kau ajarkan apa? gambyong?’ tumbuhan itu menelan cuilan biskuitku yang terakhir.
‘bukan, kemarin aku mengajarimu bambangan.’
‘hah, bambangan sama siapa? tari itu butuh kesatria.’
‘belum ada. kesatrianya belum ketemu.’
suasana seperti jam enam sore walaupun sebenarnya baru jam empat.
‘aku kangen langit biru,’ kataku.
‘aku kangen langit biru kehijauan dengan sepeda kumbang di sela-sela awan.’
’emang ada?’
‘karena itu aku kangen. aku nggak bakalan kangen sama langit yang sudah pernah aku lihat.’
hujan semakin deras.
‘aku pulang dulu.’ ia menggebrakkan kakinya tiga kali kemudian terbang tanpa jas hujan. sejak kapan ia menguasai ajian pancasona gatotkaca? entahlah. semoga ia tidak tersambar petir. aku menggebrakkan kaki supaya lenyap ke dalam bumi seperti antasena. gagal. ngetik lagi aja deh.