SAIA
Sutradara: Djenar Maesa Ayu
Ditonton di: private screening di Subtitles, Dharmawangsa Square, Jakarta, lupa tahun berapa (2009?)
Saia, film terbaru Djenar Maesa Ayu, tidak seperti film-film Antonioni yang menanggalkan pakaian semua karakternya di menit pertama. Di menit pertama dalam Saia, kedua karakternya (mungkin bernama Saya dan Ia) memang sudah tidak berpakaian. Yang menempel di tubuh dua aktornya—Harry Dagoe dan Djenar sendiri—hanya tato, lebam, dan keringat.* Plot Saia simpel, sangat linear. Sepasang heterosexual menyewa holiday cottage dari bambu yang kelihatannya tidak terlalu murahan (sprei bersih, lampu meja bertutup kain kanvas putih a la Index Furniture, ada telpon), kemudian bercinta dengan berbagai macam gaya dengan jendela terbuka. Semuanya diabadikan oleh (mungkin) seorang voyeur dengan kamera digital dari kamar sebelah yang (kira-kira) berbentuk sama dari jendela yang juga terbuka (ada dua jendela, tembok di antaranya dengan lihai menyembunyikan penis Harry Dagoe sepanjang hampir 80 menit). Seperti holiday house mansion di film Salo Pier Paolo Pasolini, gubuk bambu Saia (perhatikan jumlah huruf yang juga sama dalam judul keduanya) juga bisa diinterpretasikan sebagai simbolisme sebuah eskapisme. Kalau orgy Pasolini adalah eskapisme ironis dari fasisme Il Duce (karena orgy untuk melarikan diri dari fasisme itu ternyata bukan cuma juga fasis tapi sadis dan masokis pula—poin satir hitam buku yang menginspirasi film ini, 120 Days of Sodom-nya Marquis de Sade, bahwa fas/sad-isme ada di dalam diri kita semua ke mana pun kita lari), gubuk Saia bisa juga diinterpretasikan menawarkan safe house dari fasisme Il Ba’asyir, Stormtroopers of MUI, dan kawan-kawannya. Kamera yang dipegang tangan dan kebanyakan diam (paling hanya bergerak dari jendela ke jendela, zoom in and out hanya kadang-kadang) selain mengingatkan kepada kerja kamera dalam reality shows seperti Big Brother, atau isi video-video VHS misterius di film Hidden (Caché) Michael Haneke, atau channel-channel sado masokis di klub Herosase dalam Pintu Terlarang Joko Anwar, juga mengingatkan kepada camera work primitif sutradara-sutradara 3gp Indonesia yang karya-karyanya, seperti Saia yang diputar di antara kalangan sendiri secara setengah rahasia, juga menghuni space dan status setengah underground setengah mainstream di kaskus dan berbagai blog penyedia link-link mesum. Scene-scene di film ini pun bisa dipilah-pilah berdasarkan fetish-fetish pornografi yang daftarnya sering ada di situs seperti youporn.com dan—versi Indonesianya—delthavideo.com: scene pertama blowjob, kedua swallow, ketiga foot fetish, keempat dildo, kelima BDSM, keenam (mungkin) rape, ketujuh (mungkin) snuff. Dan semuanya dibungkus dalam über-category MILF. Bedanya dengan menonton youporn atau mendownload video 3gp dari kaskus, kita tidak bisa memilih cuma menonton kategori yang kita suka. Selama 80 menit Saia bukan cuma mempersilakan penonton menjadi voyeur/peeping Tom/tukang ngintip tapi juga memaksanya untuk menikmati adegan-adegan yang mungkin tidak terlalu membuatnya ngaceng. Salah satu problem pornografi menurut mbah-mbah feminis serem Catherine McKinnon dan Andrea Dworkin adalah bahwa dalam proses produksinya aktor-aktor yang terlibat di dalamnya pasti dipaksa untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Pornography is rape. Sex is rape. Nah, Saia, dengan cara memaksa penonton menonton hal-hal yang mungkin tidak ia sukai, telah membalik argumen ini. Gantian penonton—penikmat (mungkin) pornografi tadi—yang disiksa, yang diperkosa. Saia has turned pornography on its head! Lagipula, apakah Djenar sang sutradara benar-benar bermaksud menceritakan ada voyeur di cottage sebelah yang sedang membidikkan Flip HD-nya ke tetek Djenar dan dada Harry Dagoe yang berbulu sekaligus bergelimang keringat? Atau gaya handheld camera work ini hanya point of view seorang sutradara Dogme yang sedang bercerita tentang exhibisionisme Saya dan Ia? Apakah sebagai penonton kita deg-degan ikut mengintip atau meronta-ronta dipaksa untuk menonton? Di saat-saat waktu camera tiba-tiba zoom/maju ke tetek Djenar atau dada bergelimang keringat Harry Dagoe dan terdengar lamat-lamat suara nafas yang berat (film ini tanpa dialog dan hampir tanpa suara sama sekali)—apakah ini suara karakter si Djenar (Saya atau Ia?) yang akhirnya kedengaran dari jendela yang terbuka, atau suara nafas si voyeur yang ikut terangsang/tegang? Jika pun tidak ada voyeur dan yang ada hanyalah kameramen si Djenar Von Triers, maka ini juga cara yang cerdik untuk menjebak penonton menjadi voyeur itu sendiri. Sepanjang film penonton melihat dua jendela yang terbuka mempertontokan dua orang yang sedang ngewi dan tidak terlihat ingin menyembunyikan tubuh atau kegiatan mereka berdua. Penonton tidak diberi ruang untuk mengalihkan pandangannya. Kebanyakan kegiatan mengintip kecuali di peep-show tentulah dilakukan sambil sembunyi (orang yang masuk ke dalam bilik peep-show pun sedang sembunyi di bilik itu dan bilik itu bersembunyi di naungan sex-shop, legalitas pornografi di Amsterdam, etc.), tapi Saia tidak pernah membiarkan penonton—kalau dipikir-pikir semua penonton film, bahkan yang bukan pornografi, adalah voyeur bukan?—the ultimate voyeur ini, untuk sembunyi! Ia terpaksa melongo di depan Saya dan Ia sampai film ini berakhir dengan sebuah adegan snuff movie, di mana salah satu dari Saya dan Ia mungkin mati atau pura-pura mati dalam sebuah ritual sado masokis yang sangat terkontrol, dan sebuah twist** yang awalnya bagi saya agak membingungkan tapi kemudian menurut saya adalah cara yang pintar untuk meruntuhkan kepercayaan kita bukan cuma tentang seks, pornografi atau moralitas, tapi juga tentang (si)apa itu menonton dan (si)apa itu ditonton.
*dalam percakapan dengan Djenar, ia bercerita bahwa badan Harry Dagoe sempat biduran selama shooting sehingga selain keringat tubuhnya juga bergelimang bedak cair Caladyn
**bagi yang tidak terganggu dengan spoiler silakan melanjutkan baca:
Jadi setelah Djenar (Saya/Ia) memecahkan kepala Harry Dagoe dengan lampu meja dan atau pura-pura memecahkan kepalanya dengan lampu meja dalam permainan sado masokisme yang super rapi, Djenar (Saya/Ia) kemudian menutup kedua jendela di kamarnya untuk pertama kali. Kemudian kamera sempat mati (satu-satunya change of scene selama film ini adalah waktu kamera (seakan-akan) sengaja dimatikan (mungkin oleh si voyeur) dan sekali waktu (seakan-akan) kamera mati karena kehabisan batere (lengkap dengan ikon batere hampir habis di layar kemudian scene kira-kira tiga menit hanya layar hitam dan gambar ikon batere ngecharge di sudut kiri atas) sebelum dinyalakan kembali untuk mengambil shot dua jendela yang tertutup. Cukup lama. Setelah itu orang yang memegang kamera ini untuk pertama kalinya keluar kamar dan masuk ke dalam kamar dengan dua jendela tertutup tadi. Ternyata kamar kosong dan sudah rapi diberesi. Si pemegang kamera kemudian balik lagi ke kamar yang satunya, meletakkan kamera di kasur (tetap on), kemudian duduk di depannya. Siapa? Ternyata karakter yang dari tadi dimainkan Djenar sendiri (Saya/Ia). WTF??? Begitu pun reaksi saya pertama kali. Tapi karena saya terlatih menonton Dexter, otak forensik saya pun mulai bekerja dan saya menyadari bahwa setelah Djenar menutup jendela kemudian kamera mati, kita tidak pernah diberi tahu secara pasti apakah setelah kamera dihidupkan lagi kemudian menunjukkan lagi dua jendela yang tertutup, apakah dua jendela itu adalah dua jendela di kamar Saia dan Ia tadi. Bisa saja dua jendela yang tertutup itu adalah jendela di kamar di mana si voyeur tadi berada, diabadikan oleh kamera lain yang dipegang karakter yang dimainkan Djenar (Saya/Ia) tadi dari kamarnya sendiri.*** (Setelah membuang mayat Harry Dagoe dan atau menyuruhnya mandi.) Sehingga mungkin dari tadi si (mungkin) voyeur tadi ternyata bukan voyeur sama sekali tapi sesama eksibisionis yang memang diminta untuk mengabadikan Saya dan Ia ber-youporn ria sepanjang hari. Dan kali ini seharusnya giliran karakter yang dimainkan Djenar untuk mengambil gambar si sesama eksibisionis di kamar sebelah (entah lagi ngapain dan atau sama siapa). Dan mungkin selama ini mereka sudah saling membuat berbagai macam versi Saia dalam sebuah festival eksibisionisme yang sudah berlangsung ber-hari2 (120 days?). Efek twist ini sadis juga (sadis di sini dipakai dalam arti “hebat”, “gokil” seperti yang sering dipakai anak gaul Jakarta circa 2009), karena jika selama ini penonton mengidentifikasikan dirinya sebagai voyeur dengan segala macam problem moralnya (zina mata, objektifikasi seks/tubuh/perempuan/Harry Dagoe), itu adalah salah penonton itu sendiri. Karena ke-voyeur-an itu ternyata adalah fetishisme kita sendiri yang mungkin lama kita repress dan sembunyikan tapi ternyata hanya menjadi moral baggage yang kita bawa ke mana-mana termasuk waktu kita menonton Saia. Kita telah memproyeksikan voyeurisme kita sendiri kepada seorang karakter di dalam film yang sebenarnya hanya seorang maniak seks eksibisionis. Tentu hal yang terakhir ini punya relevansi yang sangat besar dalam dunia Indonesia sekarang. Saia mungkin ingin bilang bahwa fatwa Stormtroopers of MUI untuk membreidel Suster Keramas, misalnya, hanya refleksi bahwa para stormtroopers itu memang terobsesi dengan onani sehingga mereka begitu mengidentifikasikan keramas dengan mandi junub. Dan Saia mengatakannya dengan cara yang jauh lebih menarik dan kompleks daripada moralis-moralis dan atau filsuf-filsuf Twitter. Tapi selain itu, mungkin Saia juga sedang berbicara tentang/menyentil hal yang jauh lebih besar daripada sekedar hipokrisi moral: menonton film (porno maupun bukan) itu sendiri. Jika kita menonton Avatar 3D misalnya, tentu kita tidak punya tanggung jawab lain selain bayar tiket dan mengembalikan kacamata 3D setelah film selesai. Tapi, menonton Saia kita, seperti si sesama eksibisionis tak bernama tadi, justru dituntut untuk menandatangani sebuah perjanjian justru untuk menanggalkan kacamata apapun yang tadi kita pakai. Moral, seksual, tekstual, struktural—you name it. Kita boleh menonton, dipersilakan, tapi kita juga dituntut untuk menonton bagaimana kita sendiri menonton Saia, untuk membiarkan diri kita—seperti yang telah dilakukan dengan lapang dada (insert own Harry Dagoe dada bergelimang keringat joke here) oleh Saya dan Ia—menjadi obyek yang ditonton juga.
***mungkin Djenar memberi hint dengan celana dalam Harry Dagoe yang terjepit di daun jendela waktu ia menutupnya. Kalau pas kamera dinyalakan lagi menunjukkan dua jendela yang tertutup tanpa celdal Harry Dagoe nyempil di situ berarti mungkin sekali sudut pandang film memang sudah berubah dan dua jendela itu memang jendela di kamar si (mungkin) voyeur tadi. Kalau ada celdal yang nyempil? Berarti semua jadi lebih membingungkan lagi dan argumen-argumen saya patah semua hehehe. Tapi saya tidak ingat ada atau tidak ada celdal Harry Dagoe di adegan itu. Perlu nonton lagi.