Saya menulis ini untuk istri saya @violeteye. Semua yang akan ada di post ini kebanyakan berasal dari apa yang dikatakannya kepada saya selama makan pagi dan sebelum tidur beberapa hari terakhir ini. Sayang, istri saya sedang sangat sibuk dan juga sedang sedih, sehingga saya takut ia tidak punya waktu untuk menuliskan semua ini. Ia sering tenggelam dalam kesedihannya, sesuatu yang justru membuat saya iri, karena saya selalu lari dari kesedihan saya. Sering hal-hal yang ia rasakan dalam kesedihannya lambat laun akan mengendap dan keluar menjadi puisi, suatu saat nanti. Namun puisi itu akan berbentuk bunga, yang hidup dari kompos kesedihan yang telah lama ia simpan tadi. Kadang-kadang, kalau saya berpikir tentang istri saya, saya membayangkannya sebagai sebidang tanah hijau yang sebenarnya penuh dengan lubang-lubang biopori yang tidak kelihatan karena tertutupi rumput.
Suatu saat nanti, mungkin pecahan-pecahan percakapan yang akan saya rangkum di sini akan muncul di puisi-puisi istri saya. Yang saya ingin lakukan sekarang adalah merekamnya secara utuh, kemudian memamerkannya di etalase tumblr posterous. Mungkin istri saya tidak akan menyukai usaha ini, tapi saya selalu merasa sayang kalau perkataan-perkataannya hilang begitu saja, ditelan suara knalpot dari mobil-mobil rusak yang sedang diperbaiki di bengkel depan rumah.
Kisah ini bermula dari menonton film Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya di Ciledug CBD XXI. Saya ingat waktu itu hari Jumat, dan siangnya istri saya kirim pesan di WhatsApp untuk bagaimana kalau kita nonton film aja malam ini di CBD? Walaupun sepertinya film yang menarik untuk ditonton hanya Test Pack, yang kami berdua curiga seperti biasa sedang digadang-gadang oleh teman-teman pembuat filmya (Monty Tiwa) di Twitter dan mungkin sekali sucks azz. Walaupun saya cukup suka skenario yang dia tulis buat Mengejar Mas-Mas dan 9 Naga. Tapi kemudian saya ingat membaca review Mumu (@mumualoha) tentang Rayya di Facebook. Di situ dia memujinya sebagai (basically) kondensasi pemikiran-pemikiran Emha Ainun Najib selama ini. Mumu menganggap sudah saatnya Emha menjadi bapak bangsa juga seperti Garin Nugroho dan Arswendo Atmowiloto, dan ia sudah melakukannya di film ini.
Saya sendiri tidak pernah suka maupun mengerti Emha. Buat saya, karya-karyanya selama ini terlalu esoterik dan solipsistik. Yang bukan orang Jawa tidak usah ambil bagian. Tapi karena saya punya kebiasaan memaksa diri melakukan hal yang tidak saya suka, maka saya bilang ke istri saya, kita nonton Rayya saja yuk, kata Mumu bagus.
Jadi kami nonton Rayya hari Jumat malam, jam 21:10. Hanya ada empat penonton lagi selain kami berdua, keluarga Cina, bapak ibu dan dua anaknya.
Awal film ini bagi saya khas film-film Indonesia masa kini, dimulai dengan keinginan yang meluap-luap rasanya untuk menyorotkan di layar perak sepotong kehidupan urban Jakarta yang dialami pembuat filmnya. Selalu seperti ada keputusasaan, semacam yearning?, untuk berteriak, begini lho hidup(ku) yang so sophisticated itu sekarang! Padahal yang mereka sorotkan selalu karakter dan situasi yang itu-itu saja. Dalam film ini situasinya adalah sebuah rapat (I’m not gonna say miting) di sebuah rumah produksi yang dihadiri karakter-karakter klise dari film Indonesia era 2000-an awal: ada cukong Cina, ada desainer cong dan brondongnya, ada satu dua “creative types”, ada MacBook Pro. Bandingkan dengan awal-awal film Pintu Terlarang (pembukaan pameran tunggal di sebuah galeri) atau Arisan 2 (sekelompok sosialan Jakarta memperbincangkan 1. sebuah feature article tentang mereka sendiri di sebuah majalah fashion & lifestyle berformat raksasa dan 2. sebuah buku tentang bedah plastik yang baru saja diterbitkan salah satu dari mereka. Hadir juga di situ seorang token bencong, editor majalah fesyen tadi (terlalu kaleng untuk menjadi parodi samuel mulia)), similar bourgeois mise-en-scenes, the same cardboard cut-out characters. Cardboard cut-out characters di awal film Rayya sedang memperbincangkan editorial plan buat sebuah coffee-table book sekaligus hagiografi tentang Rayya, seorang supermodel slash aktris slash penyanyi slash seleb slash drama queen.
Selanjutnya, setelah adegan editorial war-room ini, Rayya menjelma menjadi sebuah road-movie, yang karena arahnya sama dari Barat (Jakarta) ke Timur (sepanjang Jawa sebelum menyeberang ke Bali), jadi mirip sekali dengan Tiga Hari Untuk Selamanya. Rayya naik mobil berdua bersama fotografernya yang somewhere di Pantura diganti dari seorang fotografer muda yang idealis dan berapi-api menjadi seorang fotografer tua yang phlegmatic. (ie, Alex Abbad bermobil Jaguar (flashy, comfortable, safe) diganti dengan Tio Pakusadewo bermobil Land Cruiser (understated but still bloody expensive, not as comfortable (the Tio character actually said this to Rayya) but way cooler in the hipster car spectrum, can go off-road—off-road movie?)
Sepanjang perjalanan mereka, dialog antara Rayya dan kedua fotografernya, terutama Arya (near-anagram for Rayya) yang dimainkan Tio, bisa dideskripsikan sebagai “purple prose”, atau dengan kata lain “terlalu masteng/mbakteng sastra.” Rayya menjadi, menurut saya, mash-up antara 3 Hari Untuk Selamanya dan kuliah umum Salihara. Sementara, menurut istri saya, Rayya adalah “3 Hari Untuk Selamanya meets Before Sunset dengan aroma Sastra Reboan.”
Dua hal lagi yang paling penting yang dikatakan oleh istri saya tentang Rayya adalah bahwa: 1. Conceit pembuatan coffee-table hagiografi Rayya ini bisa dibandingkan dengan konsep/legenda buku The Last Sitting karya fotografer Bert Stern, yang berisi foto-foto Marilyn Monroe enam bulan sebelum meninggal. Menurut mitologi yang dikembangkan Stern, photo-shoot yang ditugaskan Vogue ini menjadi sangat intim sehingga Stern jadi tahu betapa depresinya Marilyn di balik segala kegemerlapannya. (Kalau punya buku ini coba lihat foto-foto negatif yang memperlihatkan bekas luka operasi usus buntu di perut Marilyn—some girls like it hidden!) Sepertinya, poin Emha dan sutradara Viva Westi salah satunya juga untuk menunjukkan luka di balik kedugeman Rayya. 2. Aneh bahwa banyak orang yang suka Rayya secara literal menganggap film ini adalah sebuah “peray(y)aan”, entah perayaan bahasa (sok) puitis, perayaan semangat juang wong cilik Jawa (yang mereka asumsikan bisa mewakili wong cilik sak-Indonesia), atau perayaan lanskap ala Indonesia yang indah. Padahal, lanjut istri saya, bukankah Rayya ini sebenarnya sebuah kritik terhadap Rayya dan Rayya-Rayya lain (urban, rich, self-obsessed tho not always sexxee) dalam kehidupan kita? Bukankah nama Rayya dengan dua Y itu sendiri mungkin dimaksudkan Emha sebagai sesuatu yang ironis? Di dalam film, Arya (perfect anagram of Raya dengan satu Y) membandingkan nama Rayya dengan kata Raya dalam Indonesia Raya, menganjurkannya supaya selalu raya (definisi kata “raya” dalam KBBI adalah “besar, mulia (as in Hari Raya), atau pesta (as in perayaan)”) dan bukannya dipenuhi dengan keinginan-keinginan sok morbid setengah matang untuk bunuh diri. Bukankah ini bisa saja sindiran Emha juga untuk NKRI Raya yang sedang bunuh diri pelan-pelan (atau malah cepat-cepat), dan bukan usaha klise untuk merayakan (dengan satu Y!) yang positif-positif saja dari negara ini?
Banyak orang yang telah berbicara tentang film ini menunjuk ke sebuah adegan di mana seorang ibu tua penjual karak menolak sedekah Rayya yang sengaja membayar dengan uang 50 ribuan dan, “kembaliannya buat Ibu aja.” Si ibu tua itu bilang, “Saya di sini jualan bukan mengemis, ini saya kembalikan uangnya Den Ayu, sini karaknya kembalikan ke saya.” Adegan ini cukup mengharukan, namun setelah keharuan itu lewat apa sebenarnya yang tersisa? Jika istri saya benar tentang motif-motif Emha, mungkin adegan itu memang ada untuk menampar Rayya dan Rayya-Rayya lain di Indonesia yang sering merasa begitu heroik hanya dengan melemparkan frase tadi, “kembaliannya buat X aja.”
Sementara, review ini misalnya, menganggap bahwa adegan seperti itu (ada beberapa, yang selalu berakhir dengan semacam “pencerahan” buat Rayya) adalah satu titik dalam roadtrip Rayya untuk “berdamai dengan kelemahan diri sendiri.” Review ini percaya bahwa tokoh Rayya (dan berarti juga Rayya-Rayya yang lain di Indonesia Rayya) “pada dasarnya baik.”
Padahal, jika kita percaya bahwa Emha memang sedang bermain ironi tingkat tinggi (inggil? sangat halus sehingga hampir tak terasa?), kita seharusnya melihat adegan ibu penjual karak tadi sebagai sebuah tamparan keras buat semua Rayya yang pada dasarnya ngehek di negeri ini.
Memang, saya sendiri suka tidak percaya dengan sindiran super halus ala Jawa seperti ini. Saya ragu apakah sindiran itu sebenarnya memang sindiran, atau malah ciptaan pembaca/penonton super halus ala Jawa-nya yang mencari-cari hal yang sebenarnya tidak ada?
Bagi saya sendiri sampai sekarang, kritik dalam adegan itu kurang keras, terlalu sentimentil, terlalu klise. Dalam bangunan film itu, penolakan si mbok penjual karak itu sangat ketebak, seperti sebuah cumshot dalam video porno. Jika, seperti kata Mumu, Emha memang sedang menjadi budayawan pemomong bangsa dalam film ini, pelajaran macam apa yang sedang disublimasikannya dalam adegan ini? Apakah sekedar tamparan sekejap terhadap kaum borjuis Jakarta? Atau perayaan semangat dan harga diri wong cilik? Terus di mana kritik/sindiran terhadap peran negara dalam menghancurkan keduanya? Di mana kritik terhadap kapitalisme global yang menghancurkan ekonomi mbok penjual karak dan anak-anak pemecah batu (satu adegan tear-jerker lagi)? Apakah adegan war-room di awal film dimaksudkan sebagai sebuah expose fly-on-the-wall akan kedangkalan kaum OKB Jakarta dan kuasa kapital mereka? Di mana kedangkalan diwakili oleh karakter brondong kaleng yang borderline homophobic, dan kuasa kapital diwakili oleh engkong Cina penyandang dana yang mengeluh kalau bukunya terlalu banyak halamannya dan dolar naik terus dia nggak bakalan bisa “booking kertas”? Kok rasanya saya sudah menjadi pembaca/penonton super halus ala Jawa sendiri yang terlalu memaksakan diri untuk reading beyond the lines?
Buat saya, film ini terlalu annoying. Dialog pseudo-sastranya (“Kamu kuliah di mana Rayya?” “Universitas Kehidupan…” ZZZZZZ) membuat Opera Jawa jadi terasa seperti ludruk, dan penulis naskahnya (Emha dan Viva Westi) sepertinya tidak pernah sempat mencapai kompromi apakah film ini akan menjadi satir atau sebuah apologia tentang kelas menengah borjuis Indonesia Ray(y)a. Kentang di atas kentang.