Masokisme, sepertti bullying, sudah menjadi kata yang gampang diumbar. Masokis lo! Bully lo! Thanks Twitter! Arti kata itu sendiri menjadi pudar semakin sering diumbar. Lo makan keripik peudeus Maicih level 2? Masokis lo! Lo pesen jigoku ramen Sanpachi level 10? Masokis lo!
Pada tahun 2002 yang lalu, penerbit oldskool konservatif Pustaka Jaya menerbitkan buku Ode untuk Leopold von Sacher Masoch karangan Dinar Rahayu.Di tengah-tengah histeria sastra wangi/sastra bau waktu itu, isi buku ini sebenarnya jarang dibicarakan, jarang juga yang peduli. Masteng-masteng sastra jauh lebih tertarik dengan ironi semu “Kok seorang cewek menulis tentang von Sacher Masoch, yang namanya jadi asal kata masokisme itu?”
Ironi yang semu, karena obyek masokisme dalam buku Venus in Furs karya von Sacher Masoch adalah seorang cowok, Severin, yang naksir abitch dengan seorang cewek, Wanda.Saking naksirnya, Severin rela diperlakukan seperti budak oleh Wanda, kelakuan masokis yang lama-lama membuat Wanda jadi menikmati perannya sebagai seorang dominatrix sadis.
Wajar dong (bukan ironis!) kalau seorang perempuan di era pasca Orba yang sedang gegap gempita merayakan kebebasan, menulis sebuah ode untuk pengarang buku ini? (Mungkin sebuah usaha merayakan pembebasan dari budaya Orba yang patriarkal dan stereotipe perempuan Orba yang submisif—masokis?)
Tapi, sebelum saya mengumbar lebih banyak lagi kata masokisme, sebenarnya apa sih artinya?
Secara luas, masokisme, kata benda, bisa diartikan sebagai kecenderungan menikmati penderitaan.Seperti Severin tadi, yang senang-senang saja waktu Wanda menyewa tiga cewek Afrika untuk menjadi dominatrices-nya.
Namun, seperti juga hampir semua kata (termasuk “bullying”), arti masokisme telah berkembang dalam sejarah. Sekarang, jika kita mencari arti kata “masochism” di Wikipedia, kita akan diantarkan ke sebuah “disambiguation page” dan disuruh memilih mengklik entri “Sadomasochism” atau entri “Self-defeating personality disorder”.
Sadomasochism adalah istilah yang di-mashup dari nama von Sacher Masoch dan Marquis de Sade, Enny Arrow-nya Perancis, pengarang stensilan vintage 120 Days of Sodom, Justine, Juliette, dan Philosophy in the Bedroom. Istilah sadomasochism ini sekarang lebih sering digunakan untuk mendeskripsikan kegiatan seksual orang-orang yang mendapatkan kenikmatan dari disiksa (dengan terkontrol dan banyak aturan) dan/atau dipermalukan (misalnya dikencingi (watersports) atau diberaki).
Sementara sebagai “self-defeating personality disorder”, masokisme adalah kondisi klinis yang diderita oleh orang-orang yang memilih untuk menderita dalam kegagalan daripada menjadi seorang yang sukses seperti @mrshananto.
Dalam kehidupan Jakarta yang keras ini, sepertinya kita memang hanya punya dua pilihan, menyerah untuk menjadi #ManusiaGagal di #NegaraGagal atau berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin inspirasi dari #motivatwit, #kultwit, #selebtwit supaya kita bisa menjadi SUPER!
de Sade, seorang penduduk #NegaraGagal Perancis circa abad 18-19 menulis Justine ou les malheurs de la vertu sebagai satir terhadap keadaan genting di Perancis pas sebelum Revolusi Perancis terjadi. Ia menulisnya di penjara Bastille.
Vertu bukan handphone ekslusif supermahal tapi sebenarnya tidak canggih itu.Vertu berarti virtue, atau arete dalam bahasa Yunani, yang bisa diartikan secara general sebagai kebaikan. Lawannya adalah kejahatan, atau vice/le vice. Sejak zaman Aristoteles, filsuf-filsuf sudah sibuk berdebat tentang apa sebenarnya arete/la vertu/virtue/kebaikan itu. Bagaimana menjadi orang yang baik?Nilai moral macam apakah kebaikan itu?
de Sade hanyalah satu lagi dari serentetan filsuf Barat yang berusaha menawarkan sistem filsafat moralnya sendiri tentang kebaikan (dan kejahatan).
Plot novel Justine menceritakan kakak beradik Justine dan Juliette yang, setelah orang tua borjuisnya bangkrut (ditipu) dan meninggal, terpaksa berusaha mencari jalan hidupnya sendiri. Juliette yang lebih tua, berambut coklat dan seksi, memilih jalan kejahatan.Mendaftarkan diri menjadi seorang pelacur di sebuah rumah bordil, berpura-pura masih perawan kemudian menjual keperawanan palsunya itu berpuluh-puluh kali kepada bangsawan-bangsawan horny.
Setelah makin matang dan dewasa, Juliette yang licik ini memanfaatkan kebodohan bangsawan-bangsawan Perancis langganannya untuk keuntungannya sendiri.Ia berhasil mendapatkan gelar bangsawan sendiri dengan meracuni salah satu pelanggan yang mengangkatnya jadi selir, dan mendapatkan segala keuntungan ekonomi dari gelar bangsawan itu.
Sementara itu, Justine yang masih berumur 12 tahun di awal cerita, pucat, berambut pirang, suci, dan beneran perawan memilih jalan kebaikan. Ia selalu berusaha menolak pertolongan dari orang-orang, yang selalu menolongnya dengan pamrih.Karena Justine adalah sebuah novel satir, setiap orang yang menawarkan pertolongan dengan pamrih kepada Justine sebenarnya mewakili sebuah institusi #NegaraGagal Perancis yang ingin dikritik Sade.
Justine mengungsi di sebuah biara, tapi ia malah dijadikan budak seks para pendeta disitu. Dipaksa ikut orgy, diperkosa jika tidak mau.Biara dan pendeta tentu mewakili gereja, agama (Katolik).Justine menolong seorang bangsawan yang dirampok, tapi bangsawan ini kemudian malah menyekapnya di sebuah gua dan akhirnya, gang-bang lagi.Bangsawan ini tentu mewakili kaum aristokrat Perancis waktu itu.Justine meminta tolong seorang hakim untuk membebaskannya dari tuduhan tapi hakim itu justru mempermalukannya di pengadilan.Hakim tentu mewakili sistem hukum Perancis waktu itu.
de Sade memakai kisah masokisme Justine untuk mengkritik sadisme #NegaraGagal Perancis. Namun, lebih radikal daripada itu, de Sade juga memakai masokisme Justine untuk mengkritik standar moralitas tentang kebaikan dan kejahatan itu sendiri. Menurut de Sade, kebaikan dan kejahatan bukanlah moral absolutes yang ditentukan oleh tuhan maupun hukum (apalagi kaum aristokrat!) Kebaikan dan kejahatan adalah nilai moral yang subyektif.Apa yang dianggap Justine sebagai kebaikan (keperawanan misalnya), bagi Juliette hanyalah sebuah komoditas yang bisa dijual (berkali-kali) untuk keuntungan ekonomis.
Selain itu, de Sade juga ingin menunjukkan bahwa, pada akhirnya, baik kejahatan maupun kebaikan mampu memberikan kenikmatan.Dan sebenarnya kenikmatan inilah yang menjadi tujuan utama kehidupan manusia.Juliette ingin merasakan kenikmatan hidup mewah dengan gelar bangsawan, tanah dan kereta kudanya sendiri.Kejahatan hanyalah caranya untuk meraih kenikmatan-kenikmatan itu.Sementara, Justine pun mendapatkan kenikmatan spiritual dari kekeraskepalaannya mempertahankan la vertu-nya.
Seharusnya sudah ada novel Indonesia kontemporer yang menawarkan satir terhadap sadisme Jakarta kepada penduduknya sendiri.Namun sepertinya belum ada yang mengkritik sadisme Jakarta seradikal dan senihilis de Sade.Novel 86 karya Okky Madasari yang bergaya realis berhasil menyindir budaya korupsi di sistem birokrasi pemerintah dengan menohok.Tokoh utamanya, Arimbi, seorang juru ketik panitera pengadilan, mulanya seperti Justine, hidup jujur, cenderung naif, di tengah-tengah budaya kongkalikong di kantornya.Seperti Justine yang kukuh (berusaha) mempertahankan keperawanannya, Arimbi awalnya menolak untuk korupsi.Tidak seperti Justine, kemurnian moralitas Arimbi tidak langsung mendatangkan penderitaan baginya, walaupun juga tidak memberikan kenyamanan, apalagi kemewahan hidup.Arimbi sering merasa sedih tidak mampu beli AC buat kamar kosannya yang sempit dan panas.
Penderitaan bagi Arimbi justru datang ketika ia berubah menjadi seorang Juliette. Mulai korupsi kecil-kecilan karena ia ingin menikah, punya anak, dan hidup nyaman. Barulah sadisme Jakarta menimpanya. Mulanya korupsi memberinya kemewahan yang selama ini tidak mampu ia dapatkan (hasil korupsi pertamanya adalah sebuah mesin AC). Tapi akhirnya ia tertangkap dan mulailah siklus penderitaannya.
Selama di penjara dan setelah keluar dari situ, Arimbi menjadi labil. Pada dasarnya ia tetap orang yang baik seperti Justine (ia dengan senang hati membalas cinta preman lesbian di blok penjaranya), namun seperti Juliette ia juga bisa berpikir dengan kepala dingin tentang semua kebutuhan ekonomi keluarga kecilnya setelah keluar dari penjara, kemudian menyuruh suaminya jadi kurir sabu.
Novel 86, sama seperti Justine, berakhir dengan tragis: suami Arimbi ditangkap polisi pas lagi pesta sabu (Justine mati disambar petir di akhir kisahnya).
Memang kedua novel ini berbeda gaya, Justine adalah novel satir bergaya semi-Gotik dengan segala ke-lebay-annya, sementara 86 bergaya realis. Kesamaannya adalah keduanya berusaha menyindir #SistemGagal di sebuah #NegaraGagal.
Walaupun sebagai satir, gaya 86 tidak seradikal Justine, ada satu hal yang mungkin membuatnya jadi lebih nihilis. Arimbi tidak semasokis Justine, ia pun bisa bertindak sadis seperti Juliette. Namun nasibnya pada waktu ia baik maupun pada waktu ia jahat sama saja. Tetap dikadali oleh #NegaraGagal Indonesia. Apakah dengan begini Okky Madasari ingin mengatakan bahwa baik la vertu maupun le vice sama-sama tidak mampu memberikan kenikmatan apapun bagi manusia-manusia Jakarta? Bahwa masokisme penduduk Jakarta pada akhirnya akan sia-sia?
*aslinya ditulis untuk @kopdarbudaya, 21 Oktober 2011