5 poems by Tishani Doshi

sometimes me and my wife do translations for money. for a lot of money ideally. these ones we did for okay money. for the indian embassy. jokpin read the translations. tishani doshi read the originals. all poems by tishani doshi. all translations by Mikael Johani and Gratiagusti Chananya Rompas

WAKTU ITU KITA PERGI KE PANTAI

Waktu itu kita pergi ke pantai
ibu-ibu di Madras sedang menyisiri
Marina, mencari anak hilang.
Jerami beterbangan di udara, napi-napi
berkeliaran di jalanan, rumah-rumah menari
bagai marabahaya bersembunyi dalam angin.
Aku melihat wanita menggenggam tepi dunia
yang bocel-bocel dalam satu tangannya,
memandang ke balik candi yang masih berdiri,
seperti dirinya, utuh—betapa menakjubkan!—
di antara puing-puing yang menyala di bawah matahari
India Selatan. Kemudian ia menyeka dahi
dengan tangannya yang satu lagi,
sekali, begitu anggun,
dan kelihatannya memang hanya ia
yang mampu mengubah dunia,
membawa kita kembali ke kedamaian kasur-kasur bisu.

TUBUH TAHU

Tubuh itu menari di kamar gelap
meliuk, melekuk
sampai kulitnya mampu menerima cahaya yang pecah,
menyelinap seperti bayangan di antara rangka dinding,
menangis—keras—memekik
tentang mimpi-mimpi berat yang pudar.

Semua ini adalah pengembaraan.
Tubuh itu kembali ke tempat asalnya,
pindah dari sana ke sini—merangkak—
mencoba lari, bagai batang pohon
mencari sisa kulitnya,
petunjuk tentang dirinya yang dulu.

Mungkin ia samudera berpigura tulang,
sepasang burung putih bersih,
terbang dari mimpi satu ke mimpi yang lain
menyumpal celah di antara ingatan
dan getaran; menjahit tulang belakang
dengan pembuluh darah, bulu dengan borok.
Ia memungut organ-organnya yang jatuh,
membaringkan diri ke dalam berlapis-lapis
air yang mengental; akar di atas
dahan di bawah, kaki menyerah ingin tahu.
Beginilah dunia memutar balik,
beginilah langit yang jauh menemukan bumi kembali.

KURIR

BIARA BUNDA YANG MENYINARI, KERALA

Suster di sini sedang memberi tahu ibuku
ia memungut anak-anak
yang cacat, berkulit gelap, atau perempuan.

Yang ditemukan telanjang di jalanan,
tertimbun sampah, dibungkus dalam karung,
ditinggalkan di depan pintu.

Salah satu dari mereka digali seekor anjing,
yang mengira kepala yang menyembul sedikit di atas tanah
adalah sepotong tulang atau kayu, sesuatu untuk dikunyah.

Anak inilah yang akan dibawa pergi ibuku.

***

BANDARA MILWAUKEE, USA

Orang tuanya menunggu di gerbang.
Mereka orang Amerika jadi mereka tahu tentang upacara
dan tradisi, tentang mengikuti aturan.

Mereka belum pernah melihat maupun menyentuhnya,
tidak tahu kegemarannya mencabut bulu-bulu tangan,
atau bahwa ibunya pernah mencoba menguburnya hidup-hidup.

Tapi mereka menangis.
Kami tidak bisa berhenti menangis, kata ibuku,
sambil merasakan betapa aneh tangannya yang kosong.

***

Anak ini dibesarkan oleh kaset video,
ia telah menyaksikan bagaimana ia dipindahkan dari tangan perempuan satu
ke tangan perempuan lain. Kemudian ia kembali ke sudut-sudut senja

ke hari kelahirannya.
Ia lahir di gubuk reot
di luar batas desa

tempat ibu-ibu membuang kehidupan
menonton tubuh keluar dari tubuhnya,

meraba-raba: berpeniskah atau tak berpeniskah?
melemparkan bayinya ke gundukan bayi-bayi lain

kemudian berjalan gontai pulang untuk ditiduri laki-laki mereka lagi.

MUDIK

Aku lupa Madras begitu cinta bising—
begitu cinta tetangga dan perempuan hamil
juga Tuhan-tuhan dan bayi-bayi

dan para Brahmin yang bangkit
seperti lagu untuk api yang setiap kali
memanggang udara dengan gempa bumi.

Aku lupa pengantar jenazah selalu berisik
memukul gendang dan menyebar mawar sepanjang jalan
menari-nari dan menulikan kematian.

Aku lupa pedagang kaki lima dan kucing-kucing
menyebar suara percintaan pada tembok kamar tidur dan gang-gang malam,
mirip opera dan gelap gulita.

Aku lupa mobil atrèt menyanyi Jingle Bells
dan skuter-skuter bertenggorokan lori.
Aku lupa warna pun tak bisa diam.

Aku lupa nelayan-nelayan perempuan berbaju merah menyala—
rok dan mata ketiga yang berpendar-pendar
dan gelang seperti planet-planet kasar

Aku lupa perempuan Tamil berjalan-jalan pagi
berseragam sari dan bunga melati dan sepatu kets—
mencabik-cabik hari dan kesunyian yang tipis.

Aku lupa laki-laki yang sekarat di bawah perahu rusak
pun masih menagih janji;
Aku pun lupa semuanya bisa bisu bagai laut

jika hari terluka; permukaan bumi berubah
segampang matahari menembus
hujan muson yang mencerai-beraikan semuanya.

KEMBALI JADI LAKI-LAKI

Pagi ini para laki-laki kembali ke dunia mereka lagi
menunggu di tepi trotoar hitam
menanti becak membawa mereka pe

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: