Madame la directrice, I 💘 You

Sebagai penulis yang sering dipertanyakan kenapa “ngehek”, “nyinyir”, “borjuis”, “keminggris”, saya berhutang banyak kepada puisi-puisi Toeti Heraty (Rest In Eternal Cocktail Party) sehingga akhirnya saya berani menjadi diri saya sendiri yang sepenuhnya—ngehek, nyinyir, borjuis, keminggris. 

Kalau penyair laki-laki sok kosmopolitan segenerasinya seperti Goenawan Mohamad, misalnya, membuat kota-kota di luar negeri sebagai latar belakang eksotis puisi-puisi mereka—seperti influencer lagi pamer foto-foto liburan di Instagram #wanderlust—Toeti, yang hanya dari melihat judul-judul puisinya kita tahu sering berkelana ke luar negeri (“Geneva Bulan Juli”, “New York I Love You” yang di kemudian hari diganti judulnya jadi “I 💙 New York”, “Surat Dari Oslo”), melihat kota-kota itu dengan santai saja, seperti nongkrong di kafe dan mending konsentrasi mengoles mentega (bukan margarin ya!) di croissant daripada nontonin jalanan. 

(Madame la directrice, putri Bapak Beton Indonesia Roosseno Soerjohadikoesoemo yang memulai karirnya dengan mendirikan Biro Insinyur Roosseno & Soekarno (ya, Ir. Soekarno yang itu) punya kafe sendiri di Galeri Cemara 6 miliknya di Menteng, yang juga museum dan losmen favorit seniman-seniman dan aktivis nusantara (“agak terhormat dengan sebutan Galeri?” :D). Jika telpon ke asistennya tidak diangkat, orang akan dinasehati untuk datang saja pagi-pagi ke Cemara, Bu Toeti pasti ada di situ sedang menikmati petit-dĂ©jeneur-nya. Kafenya satu lagi di Oktroi Plaza Kemang juga tempat nongkrong yang asoy jauh sebelum ada Starbucks di seberang.)

Bandingkan Goenawan yang mengeluh “pagi ini tak ada koran untukku” di Cambridge atau Taufik Ismail yang melongo melihat “trem berkelenengan” di San Francisco seperti balita pertama kali lihat odong-odong, dengan Madame Toeti dihampiri “laki-laki kedinginan
 minta karcis sobekan untuk menikmati sisa pertunjukan” di Metropolitan Opera di New York (“karcis 84 dollar tidak keberatan, masalahnya hanya parkir”—di “New York I Love You”), maka reputasi flñneur ndeso yang dipertahankan sampai sekarang oleh penyair-penyair angkatan Hallmark Indonesia seperti Aan “Tidak Ada New York Hari Ini” Mansyur rasanya agak terobati. The Empress Writes Back!

Bandingkan juga Goenawan yang mencemaskan “getar separuh senja antara deru mobil” (“Catatan-Catatan Jakarta”) dengan Toeti yang santai jogging di Jakarta sambil berkomentar nyinyir “nama-nama jalan telah diganti, sampai kehabisan pahlawan mati” (“Jogging di Jakarta” nĂ©e “Aerobics di Jakarta”). LOL. Mungkin kekosmopolitan nyinyirnya/kenyinyiran kosmopolitannya ini salah satu penyebab revival nama Toeti Heraty sejak beberapa tahun terakhir di antara penyair-penyair muda Jaxel dan sekitarnya. Saat mereka (oke, termasuk saya) mencari-cari role model yang worldview-nya nyambung, pilih Jantung Lebah Ratu atau Pesta Tahun Baru? “Kantung air selebar pelana” (“Penyair”, Nirwan Dewanto) atau “gelas anggur di tangan” (“Cocktail Party”, Toeti ma kween)? 

Hampir sedekade lalu (awal 2012), komunitas puisi online BungaMatahari menyelenggarakan Festival Tanpa Nama, pameran puisi-puisi yang nama pengarangnya dihapus kemudian pengunjung diberi stiker Mickey Mouse buat ditempelkan ke puisi favorit mereka. Pemenang favorit pembaca hari itu adalah puisi berjudul “British Traditional Breakfast” karya Sirikit Syah, yang menurut titimangsanya ditulis di Oxford tahun 2000 (kurang borju apa lagi). Belum pernah dengar Sirikit Syah siapa? Ibu Toeti sudah dong, ia yang mengumpulkan puisi-puisinya bersama 16 penyair perempuan Indonesia lain (termasuk dia sendiri) dalam antologi berjudul Selendang Pelangi (2006). 

Ini juga yang asoy dari Madame la directrice, dia menggunakan privilese anak Mentengnya bukan cuma untuk mempromosikan dirinya sendiri tapi juga banyak sekali penyair-penyair perempuan lain. Selendang Pelangi bukan antologi penyair perempuan Indonesia pertama yang dia kumpulkan. Di tahun 1979 dia juga menerbitkan Seserpih Pinang Sepucuk Sirih: Bunga Rampai Puisi Wanita (“diprakarsai oleh” Ny. Nelly Adam Malik) yang berisi karya 19 penyair perempuan—termasuk penyair Lekra S. Rukiah, hampir 30 tahun sebelum Rukiah diterbitkan kembali Ultimus (2017)!—dan 9 pelukis perempuan. Kaum 0.1% membantu kaum 99.9%, Madame Toeti juga woke sebelum waktunya! 

Di dalam antologi ini juga ada satu puisi oleh penyair bernama Soegijarti (penyair lain dapat lebih dari satu) yang dideskripsikan di bionya sebagai penulis yang “terkenal aktif dalam gerakan pemuda di awal zaman revolusi kemerdekaan di Yogya dan menulis puisi perjuangan dalam majalah pemuda ‘Seniman’ pimpinan Trisno Sumardjo dan ‘Revolusioner’ yang terbit di Yogya dan Solo.” Apakah ini Soegijarti yang sama dengan cerpenis dan penyair perempuan Lekra Sugiarti Siswadi alias Damaira yang juga orang Solo kemudian pindah ke Yogya? Perlu diselidiki. Calling Bilven Sandalista dan JJ Rizal!

Tanpa menunggu jawaban pun, jasa Madame la directrice sebagai gatekeeper yang rajin mengangkat nama penyair-penyair perempuan sudah jelas terbukti. Privilesenya memberinya kekuasaan untuk melawan dominasi gatekeeper laki-laki dalam sastra Indonesia dan dia melakukannya tanpa banyak cingcong. 

Privilese itu juga membuatnya santai saja menghadapi gaslighting yang bertubi-tubi. Misalnya, blurb bukunya sendiri, Nostalgi = Transendensi (Grasindo, 1995), menyebutkan “penyair wanita Indonesia dapat dihitung dengan jari”. Bayangkan, di-gaslight penerbit sendiri! Kurang transenden nih sepertinya editornya sampai belum pernah baca Seserpih Pinang Sepucuk Sirih. 

Monas, Pancoran, Kebayoran, Kuningan, Karet, Menteng Pulo, Tanah Kusir, Kampung Bali—beberapa nama tempat di Jakarta yang disebutkan dalam puisi-puisi Madame Toeti. Konkrit, spesifik. Dengan imaji-imajinya sendiri-sendiri yang familiar buat anak-anak Jxkxrtx. Cocok dengan kecenderungan beberapa penyair-penyair perempuan angkatan 2015-an ke atas seperti Farhanah, Ratri Ninditya, dan Gratiagusti Chananya Rompas (istri saya), yang gemar share loc (“Alfamart yang tidak terlalu alfa dibanding indo”, “buat apa ke brightspot!”, “dari jalan madura belok ke cik ditiro”) karena puisi adalah kenyataan, apa perlunya disamarkan? 

Bandingkan dengan “sungai yang tak berkata-kata”, “puncak kota”, “rel-rel suram kemerlap”. Siapa yang bakal tahu puisi yang mengandung kata-kata ini ternyata tentang Jakarta kalau nama kota ini tidak tertera dalam judulnya (“Catatan-Catatan Jakarta” Goenawan Mohamad tadi)?

halo nyonya old money,

tahukah nyonya, kami semua tumbuh besar di balik kehangatan rambut sasak nyonya. sama sekali tak pernah ada niat di hati kami buat keluar. di sini nyaman, empuk sekali, bau melati.

merci dan salam hormat,

penyair2 mestizo paruh kedua 2000-an.

Begitu sebuah fantasy e-mail yang saya tulis di salah satu blog saya di awal tahun 2008, gara-gara habis menemui satu detil yang sangat menawan saya di puisi “Balada Setengah Baya”, yang tentang check-in di hotel, aktivitas yang sangat familiar buat saya di tahun-tahun itu. “Pas pintu berderak, dia masuk bawa tas echolac”—bukan, bukan rimanya yang menawan, tapi setelah meng-google kata “echolac” (memang ditulis dengan e kecil, paling tidak di edisi Nostalgi = Transendensi), ternyata itu adalah merek koper! Versi salaryman dari koper President yang dulu saya pakai di kelas 2 SD. Penemuan kecil inilah yang menghapus keragu-raguan saya untuk pamer nama-nama merek dalam puisi saya, toh saya adalah anak borjuis yang konsumtif dan suka berkoar-koar puisi adalah kenyataan, nggak nyata banget dong kalau saya nggak menyebutkan nama-nama mereka (punch me in the face if I ever say jenama). Dari dulu saya ingin menjadi coterie poet seperti Frank O’Hara, tapi akhirnya saya menyadari saya nggak punya banyak teman, hanya banyak barang. Merekalah coterie-ku! Speak, Repetto Zizi Hommes, Marni, Yohji, P.A.M., Margiela, Westwood, McMuffin! 

Madame Toeti membebaskan saya, bebas mau ngomong tentang subyek apa saja, mau menyebutkan apa saja tentang subyek itu, pakai bahasa apa saja. Nasihatnya tentang puisi (dan hidup) yang paling kena bagi saya bukan baris dalam puisi “Post Scriptum” yang sejak dia meninggal sering dikutip di sana-sini, “antara menyingkap dan sembunyi, antara munafik dan jatidiri”, tapi baris di awal sajak “Panta Rei” yang sepertinya lebih tidak serius tapi sebenarnya adalah penggambaran hidup manusia yang paling padat, akurat, tidak perlu kiasan lagi: “‘kan selalu begitu, kita bicara ini dan itu.”

Leave a comment