beberapa soal di luar isi cerpen “keluarga kudus” sunlie thomas alexander yang baru saja ditahbiskan sebagai cerpen pilihan kompas 2022 — terutama kemungkinan cerpen itu mengapropriasi cerita lisan istri sunlie sendiri, yonetha rao yang berasal dari timor (“cerpen di atas sebagian bahan ceritanya dari saya”, tulisnya sendiri di sebuah pembahasan cerpen tersebut di sebuah fb thread tahun lalu), salah satu dari beberapa kritik tentang cerpen ini yang diangkat oleh saut situmorang — sudah gencar sekali dibahas beberapa hari ini. saya tidak akan terlalu banyak bicara tentang hal tersebut di artikel kali ini, cukup rasanya untuk mengutip komentar narator omniscient (tuhan?) di cerpen keluarga kudus ini sendiri tentang apa yang umumnya terjadi pada gosip yang beredar dari mulut ke mulut: “setiap orang pun bisa menceritakannya ulang, persis seperti versi yang ia dengar atau sebagai versi barunya sendiri”.
di artikel ini saya lebih ingin meyambut deklarasi sunlie, “TAK ADA URUSANKU DENGAN PENILAIAN ORANG LAIN TERHADAP KUALITAS CERPENKU YANG MANA PUN! ITU KAN URUSAN PEMBACAAN ORANG TERHADAP CERPENKU!” [huruf kapital dia sendiri] dengan melakukan pembacaan dekat terhadap tema, gaya penulisan, dan ideologi-ideologi yang mungkin terselubung di dalam cerpen keluarga kudus. sukur-sukur bisa mengelaborasi dan atau membongkar maksud semi-mistis (karena nggak ada argumennya) ketua dewan juri cerpen pilihan kompas, putu fajar arcana, seperti dikutip oleh budi p hutasuhut di post fbnya: “ia lihai menjalin cerita. sunlie paham tengah memasuki wilayah sensitive, sarat aturan, mapan, tapi juga sophisticated.”
secara genre, cerpen keluarga kudus ini bisa digolongkan sebagai sebuah satir, cerita yang menyinyiri — menyorot dan mengungkap — hal-hal buruk tentang sekelompok orang, masyarakat, atau institusi dengan maksud mengkritisinya — sebuah kritik sosial. dalam cerpen ini, yang dinyinyiri secara langsung adalah institusi dan lingkungan gereja katolik di sebuah paroki di “noemetan”, yang menurut berbagai bahasan tentang asal-usul dan proses kreatif cerpen ini adalah sebuah area yang menjadi bagian dari keuskupan atambua di bagian indonesia pulau timor.
apakah noemetan ini seperti “dukuh paruk” ahmad tohari, sebuah nama tempat rekaan yang menyamarkan tempat beneran, atau seperti “mojo” dan “laban” martin aleida, nama tempat beneran yang sengaja dipertahankan di cerita-cerita sastra kesaksiannya, google tidak bisa memberikan kepastian. ada sungai bernama noemetan noetoko (beneran) di timor tengah selatan yang, seperti sungai bernama sama di cerpen ini yang sering “meluap hingga… memutuskan jalan desa”, menurut artikel-artikel berita juga sering banjir. selain itu, petunjuk di dalam cerpen yang mengidentifikasi setting lokal cerita ini sebagai sebuah tempat di timor adalah penggunaan dialek timor untuk dialog karakter-karakternya, kebanyakan berupa penggunaan kata-kata seperti “sonde”, “beta”, “sa”, “katong”. menurut keterangan sunlie di artikel panjang lebar tentang proses kreatifnya di balik cerpen ini yang dimuat di langgar.co, ia memakai “kosakata bahasa melayu kupang dan sedikit kosakata bahasa dawan.” alasannya, “itu semua menurutku berguna untuk menguatkan warna lokal cerpen saja.”
keluarga kudus, kecuali judul ironisnya yang menyinyiri keluarga kudus yang sebenernya nggak kudus, adalah jenis satir yang lebih mengandalkan karikatur dan olok-olok daripada ironi untuk melancarkan kritik sosialnya. makanya cerpen ini dipenuhi karakter-karakter jemaat paroki yang direpresentasikan memakai berbagai macam klise dan stereotipe orang-orang nggak bener: “ibu-ibu ceriwis yang suka mengomel” (salah satu dari beberapa penggambaran yang juga seksis), bapack-bapack yang ber-“sepeda motor tua dua tak” dan hobi “ngopi, nenggak sedikit sopi, lalu main catur atau gaple sampai larut malam”, atau oma yang “mendelik di tengah kepulan asap tungku” (seksis lagi? atau ageist? kenapa cameo seorang “janda tua” ini harus terjadi di dapur?).
itu dari segi karakterisasinya. dari segi plot (yang tipis banget), sepertinya sasaran utama kritik sosial cerpen ini adalah eksploitasi gereja pada jemaatnya yang dilambangkan lewat kewajiban membayar derma (derma tapi wajib, mungkin ini sebuah ironi juga) dan sumbangan pembangunan gedung paroki baru yang jumlahnya terlalu mahal dan bukan suka rela karena ditetapkan oleh romo. dan ternyata derma wajib itulah faktor penentu pemilihan “keluarga kudus” yang diparadekan di gereja sebagai bagian dari perayaan natal tiap tahun, bukan kekudusan anggota-anggota keluarganya. selain itu, juga ada gosip bahwa salah satu keluarga kudus dipilih karena sang istri yang “walau sudah beranak tiga” “tetap cantik memikat” dan “punya suara merdu” dianakemaskan oleh gereja karena “pernah berbuat skandal” dengan bruder, ketua lingkungan jemaat, dan mungkin bahkan romo sendiri.
menjadikan kebobrokan bukan hanya institusi gereja yang eksploitatif pada jemaatnya, namun juga jemaat gereja itu sendiri — yang hobinya cuma nyinyir, keseringan nongkrong daripada ke gereja, bejat, terlibat skandal seks dan biang gosip pula, alias sama sekali tidak kudus, sebagai target satir, bagi seorang penulis seperti sunlie yang dibesarkan sebagai katolik dan beristrikan seorang katolik dari timor (sehingga klaimnya mereka pun harus ikut membayar derma seperti yang diceritakan di cerpen itu) di atas kertas sepertinya cukup politically correct. dilihat dari kacamata politik identitas, sunlie bisa dianggap sebagai bagian dari identitas katolik sehingga punya hak untuk bercerita tentangnya dan mengkritisinya, dan sebagai suami seorang yang berasal dari timor mungkin dia bisa juga dianggap sebagai ally orang beridentitas timor.
sampai di sini mungkin cerpen keluarga kudus bisa dibandingkan dengan novel “temanggung, yogayakarta” arie saptaji, yang juga sebuah j’accuse, tuduhan, kritik, hardikan!, terhadap institusi dan lingkungan gereja. beda cara penulisan kedua cerita ini ada banyak, namun yang relevan disebutkan di sini adalah bahwa temanggung, yogyakarta ditulis sebagai sebuah bildungsroman, novel drama coming-of-age, bukan satir, menggantungkan diri pada penyelaman psikologis terhadap watak karakter-karakternya dan bukan pada olok-olok terhadap mereka, dan bahwa penulisnya bukan hanya pernah hidup (bahkan bekerja) di dalam institusi gereja yang dikritiknya namun juga bertempat tinggal di lokasi-lokasi tempat gereja tersebut bernaung yang kemudian menjadi setting novelnya.
tentu seorang penulis tidak mutlak harus mengalami sendiri semua yang ditulisnya. jonathan swift, salah satu satiris paling besar dalam sejarah, tentu tidak perlu harus main dulu ke lilliput, brobdingnag, atau laputa buat nulis gulliver’s travels. tapi kenyataan bahwa f. rahardi adalah editor majalah trubus tentu sangat membantunya menulis mahakarya satir lingkungan hidupnya, migrasi para kampret. (nggak perlulah jadi kampret beneran, batman dong.)
tapi apakah menjadi identity-politically correct cukup untuk membuat keluarga kudus bersih suci sama sekali dari dosa “kolonialis” dan “rasis” seperti yang dilakukan penulis “macam multatuli dan joseph conrad yang ngejek-ngejek masyarakat lokal yang bukan masyarakatnya sendiri dalam karya mereka”, seperti yang dibilang saut situmorang?
di sinilah ketergantungan sunlie pada karikatur dan olok-olok klise (lihat juga “cibiran bibir mencong, cemooh dan bisik-bisik yang terdengar seperti denging nyamuk dari sekalian kaum mama dan nona” — lagi-lagi juga seksis, sebenernya hanya bentuk sastrawi berbunga-bunga dari “cewek-cewek bigos”) bisa jadi memang telah menjerumuskannya pada kubangan dosa yang sama bareng multatuli dan conrad.
analisa tentang kolonialisme dan rasisme dalam max havelaar, novel multatuli, bisa dibaca dalam esai saut “max havelaar: buku yang membunuh kolonialisme?” di bukunya yang terbaru sastra dan film atau di situs boemipoetra. perbandingannya dengan kemungkinan kecenderungan kolonialis dan rasis sunlie dalam cerpen keluarga kudus biarlah nanti saut sendiri yang menuliskannya. sembari kita menunggu (ih seru), perbandingan antara keluarga kudus dan karya conrad yang dimaksud saut, heart of darkness, bisa dimulai dengan membaca esai klasik novelis nigeria chinua achebe, penulis novel dekolonial things fall apart, tentang conrad yang berjudul “an image of africa: racism in conrad’s ‘heart of darkness’”.
dalam esai ini, achebe mengatakan bahwa “eropa selalu punya hasrat untuk menjadikan afrika sebagai alat pembanding, sebagai ‘tempat negasi’ yang jauh tapi akrab, yang jika disandingkan dengan eropa maka keagungan spiritual eropa akan lebih nyata lagi terlihat.” lebih jauh ia kemudian menunjukkan bahwa “heart of darkness menggambarkan afrika sebagai ‘dunia lain’, antitesis dari eropa dan peradaban.”
dalam artikel profilnya yang dimuat di kompas setelah keluarga kudus diumumkan jadi cerpen pilihan kompas, yang oleh penulis-penulis mainstream masih dianggap sebagai barometer sastra indonesia, sunlie mengklaim bahwa dalam cerpen ini “saya tak bicara ranah agama tertentu tapi semuanya.” ini klaim yang walaupun bisa dimengerti alasan praktisnya (males juga dituduh menyinggung SARA), namun melemahkan potensi cerpennya sendiri dan menambahkan berbagai problem etis soal apropriasi. sekarang problemnya bukan hanya apakah sunlie mengapropiasi cerita yonetha, tapi apakah pantas seorang penulis dari belinyu-yogya mengapropriasi cerita dan kehidupan gerejawi di timor, dan mengejek-ngejeknya sebagai sebenernya un-gerejawi, un-kudus, (hanya) untuk mengkritisi agama-agama lain?
kalau nggak bicara ranah agama tertentu (orba banget bahasanya) kenapa memakai cerita tentang kebobrokan institusi dan lingkungan gereja? pertama, kasian amat gereja lagi-lagi harus memikul salib jadi sekedar kendaraan slash metafora buat nyinyirin agama lain atau agama secara umum (sering dilakukan dalam berbagai bentuk seni di indonesia, misalnya olok-olok terhadap gereja katolik di film pintu terlarang joko anwar)? kedua, memangnya detil-detil kebobrokan dalam gereja dan lingkungannya sama dengan kebobrokan dalam islam atau agama lain? bisa dimengerti kalau sunlie males juga jadi charlie hebdo, mengolok-olok islam dengan konsekuensi yang mungkin sekali lebih fatal. tapi apakah adil bagi katolisisme dan orang katolik timor untuk diolok-olok — dijadikan “tempat negasi” dan “dunia lain” seperti afrika dalam heart of darkness conrad — hanya untuk menunjukkan kegemilangan spiritual… siapa?
dalam heart of darkness naratornya adalah marlow (masih difilter lagi oleh narator kedua yang samar-samar), walaupun seperti achebe dengan jeli perlihatkan, marlow ini sama aja kayak doppelgänger conrad. jadi siapa atau apa yang diwakilkan oleh suara narator yang patronising, condescending dan, memakai istilah saut, ngejek-ngejek di cerpen sunlie? kesuperioran moral si omniscient narrator? jika itu adalah suara sunlie sendiri, apakah yang dianggap superior adalah… moralitas sunlie? sehingga ia merasa pantas untuk mengolok-olok karakter-karakter orang timor di noemetan? bahkan mengapropriasi mereka sebagai senjata serangan satirnya terhadap institusi agama di ranah bukan tertentu di indonesia? ketiga, makin problematik lagi, cerpen keluarga kudus, memakai istilah yang beberapa kali dipakai untuk mengkritik penggambaran keluarga miskin parasit di film parasite bong joon-ho, juga melakukan “punching down”, merendahkan, men-dehumanisasi sekelompok orang yang katanya sedang dibela harkatnya (di kasus sunlie, jemaat yang dieksploitasi gereja). apakah semua ini yang dianggap “lihai” oleh putu fajar arcana?
satu lagi tanda bahwa, seperti penggambaran orang afrika dalam heart of darkness, penggambaran orang-orang noemetan dalam cerpen keluarga kudus kemungkinan juga kolonialis dan rasis seperti yang dituduhkan oleh saut, adalah pemakaian dialek timor, seperti kata sunlie sendiri, “untuk menguatkan warna lokal cerpen saja”. menurut achebe, dalam heart of darkness conrad menganggap “bahasa terlalu megah buat orang-orang ini [karakter-karakter afrikanya], mereka cukuplah ngomong pakai dialek!” dari manakah gaze kolonial di cerpen keluarga kudus berasal? apakah dari jogja? jawa? dari “indonesia”? atau dari “sastra indonesia”? atau dari “cerpen kompas”? yang merasa lebih modern dan bisa berbahasa indonesia yang baik dan benar seperti narator cerita ini?
kuasa kolonial kompas dalam sastra indonesia, seperti telah disindir oleh budi p hutasuhut dalam postnya, sangat relevan untuk dipertimbangkan dalam menimbang cerpen keluarga kudus. yang “tengah memasuki wilayah sensitive”, seperti dibilang putu fajar arcana, sebenarnya bukan cuma sunlie pengarangnya, tapi juga kompas penerbitnya. punya hak apa kompas di palmerah, jakarta, memuat cerita yang “ngejek-ngejek” masyarakat di noemetan, timor? kalau yang dimasuki oleh cerpen ini benar “wilayah yang sensitive”, apakah ada di dalam cerpen ini, meminjam apa yang dianggap absen juga dari heart of darkness oleh achebe, “frame referensi lain yang bisa kita pakai untuk menilai tingkah laku dan pikiran karakter-karakternya”, selain nada mengolok-olok, ngejek-ngejek, naratornya?
narator sama yang sepertinya tanpa merasa bersalah juga mendeskripsikan “bibir mencong”, “bokong molek” (“terbalut ketat kain tais tenunan”, tak pelak lagi untuk “menguatkan warna lokal saja”?), “bisik-bisik seperti denging nyamuk mama dan nona”, serta “menyeka keringat di lehernya yang berlemak” (kenapa harus berlemak? apa relevansinya ngejek-ngejek body shaming dalam satir kritik sosial yang coba dilancarkan cerpen keluarga kudus ini?). sensitif nggak nih narator cerpen ini dalam memasuki “wilayah sensitive” ceritanya?
achebe dalam esainya juga menyitir kritikus inggris f.r. leavis yang dengan jeli mendeteksi “adjectival insistence” conrad dalam heart of darkness, ketergantungannya pada kata sifat yang “emotive” (istilah achebe) untuk mendeskripsikan afrika dan orang-orangnya. kecenderungan ini sering dianggap sebagai sekedar “stylistic flaw”, kelemahan gaya, oleh kritikus barat, namun menurut achebe, “jika seorang penulis berpretensi merekam adegan, insiden dan akibatnya, tapi sebenarnya sedang sibuk berusaha menghipnotis pembacanya dengan cara menghujani mereka dengan kata-kata emotif dan tipuan-tipuan lain, maka ini sudah bukan masalah kelemahan gaya saja”. menurut achebe justru ini sebuah “under-hand activity”, aktivitas yang disembunyikan, yang seharusnya menimbulkan banyak pertanyaan tentang “artistic good faith”, kemauan baik, si penulis tersebut.
pertanyaan soal artistic good faith ini juga patut diajukan kepada sunlie dan cerpen keluarga kudusnya. hal itu meliputi kemungkinan apropriasinya terhadap cerita orang lain hingga apa yang dia lakukan dengan apropriasi itu. apakah untuk “mengkuduskan” karakter-karakter dan lingkungan yang sepertinya mewakili jemaat katolik di noemetan in real life (ini toh cerpen realis), atau mengkritik mereka, atau meminjam cerita mereka untuk mengkritik semua institusi agama (atau “ranah agama tertentu” tapi belum tentu katolik?), atau malah hanya untuk ngejek-ngejek mereka? untuk masalah etika apropriasi ini mari kita tunggu esai saut, untuk sementara dengan melakukan pembacaan lumayan dekat atas gaya bercerita dalam cerpen keluarga kudus ini, terutama soal suara naratornya dan penggambaran karakter-karakternya, sepertinya ada lumayan banyak bukti bahwa cerpen ini, meminjam istilah achebe lagi, melakukan dehumanisasi meskipun samar-samar, disembunyikan dalam olok-olok yang sepertinya diterima begitu saja oleh pembaca yang tidak kritis — atau paling tidak oleh juri cerpen pilihan kompas — terhadap orang timor. sebuah bentuk gaze rasis dan kolonialis yang bisa saja tidak disengaja, namun biarpun under-hand, tetap ada dan terasa.