rumah. aku hendak pindak rumah. rumah kata. sebuah bangunan yang terus berubah dari rangkaian patahan lidi. kunci. kakus menabuh kamar koran minggu. rumah daging. rumah pikiran. gudang. di mana tempatmu dalam sastra indonesia, mikael? mau bertamu ke rumahnya atau puas saja melempari batu ke atapnya? tapi aku bukan teman dari atap bahasa? siapa yang mau bertamu kalau tuan rumahnya jejeritan histeris seperti korek api membakar almari es?
kenapa (imaji) (tentang) rumah kayaknya penting banget buat penyair indonesia? kerna rata-rata gak punya rumah, saut menjawab. aku sad emoji. kalah dong ama keong, benki menjawab saut. aku lol emoji.
aku kagum emoji melihat postingan-postingan facebook malkan junaidi, the other mj, menguli membangun rumah, pesantren, sekolah, 80 ribu rupiah per hari. kupikir, lumrah juga judul buku puisi barunya pakai kata rumah, he can fuckin build the damn thing!
rumah daging dan pikiran. seperti apa rumah yang menyimpan daging, yang dibangun dari pikiran, harian borongan mana yang lebih efektif dan ekonomis dan puitis?
the other mj in his spare time (kok bisa masih punya spare time! :o) juga menerjemahkan the waste land, les fleurs du mal, some dude who won the nobel prize; juga mampu meruntuhkan reputasi kepenyairan nirwan dewanto dengan cukup satu zinger saja di facebook: “kita ndak usah baca puisi, nirwan. kita baca kamus saja”. aku rofl emoji. where does he get the energy?
buku baru ini kata malkan “tidak diberi label buku puisi atau kumpulan puisi. sebagian isinya mungkin bisa disebut puisi.” aku komen, kumpulan tulisan dong? haha. kayak buku anya rompas yang terakhir, e_____y, yang diberi label kriptik itu. pesan dua ya.
akankah buku baru ini lain banget dari buku-buku malkan sebelumnya? “di bawah cahaya yang terpancar dari ingatan chelsea islan terbang ke lidah bulan”. much wow poetic tropes. cahaya, ingatan, bulan, lidah bulan. gimana caranya melarikan diri dari rumah puisi indonesia?
murid kehidupan. jemari cinta. turbin permenungan. dusun kenangan. kuntum mimpi. vast dying sea of boredom. pity you parachute pants of my soul. kok masih puisi indonesia? thumbnail (pake italic) keberadaan. okay, a bit internet of things, a bit kitsch. apakah ini yang ia sebut sebagai “membahasakan yang belum terbahasakan” (“simulakra”, hal. 67, salah satu dari beberapa puisi tentang proses kreatif menulis puisi di buku ini. yang lain misalnya “mediokritas”, hal. 63, dan ya, “proses kreatif”, hal. 49, ketiganya di dalam bab “ruang kerja”). maybe more like membahasakan yang belum terbahasakan pake bahasa yang i’m sorry tapi udah basi, yang udah sering dipakai penyair-penyair lain?
padahal buku ini rapi-jali. nothing out of place. puisi-puisi (tulisan-tulisan) semua disimpan di bab-bab yang baik dan benar. impresi 02:00 di “beranda” (lagi nongkrong ya?); malam tak usai di “ruang tamu” (lanjut nongkrong! halo hamzah!); proses kreatif, ilham, dan pengaruh di “ruang kerja”; historiografi di “gudang” (setuju!); menghadapi-mengimani-upacara kehilangan di “ruang sungkawa”; hari tua di “ruang tafakur” — membacanya dari depan ke belakang seperti jalan mengikuti alur rute pengunjung IKEA (you are here and 5 hours later you’re still gonna be here) tapi isinya informa.
btw, cover buku ini didominasi warna biru dengan tulisan kuning — warna IKEA!
tapi apakah cukup untuk menjadi rapi-jali di dalam dunia puisi indonesia mainstream yang stagnan? cukupkah memuisikan renungan-renungan yang sudah pernah diartikulasikan penulisnya lebih dulu dengan sangat jernih di facebook menjadi tulisan-tulisan prosaik-esaistik tapi dengan diksi puitis (the real puisi esai!) yang sayangnya malah sering bikin pikiran-pikiran penulisnya jadi lebih gak jelas dibacanya?
contoh: semua tulisan di bab ruang kerja esensinya adalah versi puisi yang prosaik-esaistik banget (coba aja memobilisasi baris-barisnya dengan menghilangkan semua enjambmentnya jadi paragraf biasa aja) dari postingan malkan di bawah ini (yang dimulai dengan membahas upah kuli bangunan vs. honor menulis puisi dari almarhum ahmad yulden erwin (honor puisi aye masih kalah)):
Penyair biasa memulai sebuah tulisan dari ilham, epifani, atau momen ketersingkapan, yang mana seperti tusukan jarum pada plastik, otomatis membuat air di dalamnya memancar; yakni begitu epifani dialami, umum mewujud sebagai sebuah gagasan segar, sebuah kesadaran dengan perspektif yang belum pernah diketahui, maka bagian-bagian pendukungnya muncul dengan sendirinya, mengalir begitu saja. Adapun jika penyair menulis tidak dari epifani, maka prosesnya lazim tersendat-sendat. Kalaupun lancar maka sering jatuh pada klise.
Masalahnya untuk tiba pada epifani tidak ada cara praktis sebagaimana cara kerja kuli bangunan. Ia adalah satu titik di ujung sebuah proses psikologis yang kompleks. Merenung mungkin dapat dibayangkan sebagai cara praktis dan ideal. Namun berdasarkan pengalaman pribadi, epifani muncul sering justru ketika saya tidak sedang merenung. Kadang ia muncul saat saya menyaksikan sebuah peristiwa unik, atau ketika saya mendengar susunan kata tertentu. Ada sesuatu rasa dan pengertian yang terakumulasi di benak, menunggu sesuatu pemantik yang mengubahnya ke dalam wujud kata-kata. Karenanya musykil dipastikan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah puisi. Berapa lama pengakumulasian itu tak diketahui, demikian pula kapan pemantik ditemukan.
bandingkan dengan:
“Kau memang setuju menulis berarti membahasakan yang belum terbahasakan — hasrat, nestapa, amarah, epifani — tapi kau menolak mendongeng sekadar untuk menghapus kebosanan pembaca;”
(aslinya:
Kau memang setuju Menulis berarti membahasakan Yang belum terbahasakan —Hasrat, nestapa, amarah, epifani— Tapi kau menolak Mendongeng sekadar untuk Menghapus kebosanan pembaca;b - "Simulakra", hal. 67)
atau:
“Sebentar lagi. Ini belum sungguh matang. Kecilkan apinya. Setel alarm itu. Kita tidak ingin ia jadi gosong.”
(aslinya: Sebentar lagi. Ini Belum sungguh matang. Kecilkan apinya. Setel Alarm itu. Kita tidak Ingin ia jadi gosong. - "Menunda", hal. 55)
buku ini juga punya referensi yang cukup luas. eliot yang sedang dia terjemahkan, walaupun sayangnya dijelas-jelasin alusinya (“Kemerdekaan adalah pasien di puisi / Eliot, terbaring tanpa daya di atas / meja… dst.” – “Kubisme Agustus”, hal. 12) jadi sama aja kayak nirwan dewanto (“(Aku berhutang ungkapan ini kepada seorang penyair dari negeri putih, pegandrung burung hitam…)” – “Burung Merak” dalam Jantung Lebah Ratu, hal. 66) in a poem dedicated to Wallace Stevens 🙄); “Mencari ✓ Rimbaud, / ✓ Eliot, / ✓ Paz, / ✓ Neruda” (“Mediokritas”, hal. 64); anya rompas dalam sebuah review e_____y yang dipuisikan, dengan irama, nada, dan tipografi yang mendekati pastiche (better pastiche than nirwan!), di “Sebuah Buku”, hal. 60; ahmad yulden erwin, extra point buat bikin makian klasiknya di fb “lari-lari kambing” jadi abadi di “Meja Putar”, hal. 122; plus a tribute to umbu and a savage read on sapardi (pernah dia belejeti juga perpuisiannya di fb). kalau kamu merasa referensi yang luas sebagai penanda puisi yang bagus, maka kamu akan merasa buku ini mengandung puisi-puisi yang bagus.
sebelum membaca buku malkan baru ini, saya membaca kembali chelsea islan terbang ke bulan. yang mengusikku pas baca, kebanyakan puisi-puisi di situ puisi cinta, biasalah ya, par for the course dalam puisi indonesia, tapi kenapa sih sebenarnya? how did this happen? apakah karena diam-diam puisi indonesia mainstream masih belum berkembang jauh dari soneta menye-menye roestam effendi dengan segala ungkapan-ungkapan klisenya? “kalung perjalanan hidupku”, “cahaya nubari”, “dipetik jari”, hmmm…
puisi-puisi bukoswki kw69 hamzah muhammad yang sering diceng-cengin malkan junaidi pun sering juga menye klise! contoh: “Hari ini kau dilanda gundah. / Rileks. Karena gundah / senantiasa gulana.” – “Mau Bagaimana Lagi” dalam Hompimpa Alaium Gambreng hal. 26). kalau penyair yang dianggap paling edgy dalam skena sastra nongkrong indonesia pun ternyata lebih regressive dangdut daripada progressive dangdutnya soneta group gimana dong!
malkan bukan gak sadar tentang kecenderungan(nya) ini. dalam satu lagi promo bukunya di facebook (he’s a great marketeer!) dia bilang, “Buku-buku saya sebelumnya (buku kedua dan ketiga) ada yang bilang menye-menye, so-sweet-wanna-be. I think this one tends to offer something different. “
so what’s so different (i imagine bukan cuma dibandingkan buku-buku dia sebelumnya tapi juga dengan puisi indonesia pada umumnya?) and how?
mixed results. dibandingkan buku-buku malkan sebelumnya, mungkin rumah daging dan pikiran punya ambisi yang lebih besar dan terdengar filosofis. klaim malkan buku ini adalah “suara dari manusia yang tak mengingkari jati dirinya sebagai makhluk berakal sekaligus bernapsu.” daging sekaligus pikiran, i see. but isn’t that also a bit of a cliché?
dibandingkan dengan kunci ts pinang yang mencoba mengindekskan lebih jauh (daripada afrizal) dunia dan hubungan-hubungan semiotik di dalamnya, ruang daging dan pikiran lebih asyik mengindekskan dirinya sendiri dengan bahasa yang sepertinya ketularan keklisean ambisinya. bahasa di dua buku malkan sebelumnya (buku pertama dan kedua), lidah bulan dan di bawah cahaya yang terpancar dari ingatan terhadapmu (despite the latter’s title), malah terdengar lebih segar dan direct: “Bono telah selesai bersolek dan menjadi dinamit yang paling manis sekarang dan mengintai mangsa-mangsa paling fanatiknya dari balik kacamata seribu dollar.” (“The Fly: Ode dari Sebuah Tong Sampah” dalam Lidah Bulan hal. 46); “kita mengulang adegan. dua puluh delapan kali. melemparkan kucing, kursi, dan air ke udara. membekukan adegan-adegan itu dengan sebuah remote control.” (“Mengulang Adegan” dalam Di Bawah Cahaya…, hal. 4).
kalau percaya camille paglia, bahwa puisi yang bagus adalah puisi yang “catch[es] the light at unexpected angles and illuminating human universals” (“Break, Blow, Burn”, hal. xiv), maka either rumah daging dan pikiran ternyata kurang ambisius, merasa cukup dengan illuminating personal struggle penyairnya untuk tidak (lagi?) “mengingkari jati dirinya”, atau kepuisiannya kelelep dalam keklisean sehingga tidak mampu menangkap “light at unexpected angles” tadi (walaupun sepertinya yang dimaksud paglia di sini mirip dengan yang dimaksud malkan dengan epifani).
dibandingkan dengan buku puisi indonesia lain yang memakai struktur rumah, rumah daging dan pikiran malkan lebih mirip dengan, misalnya, aku hendak pindah rumah aan mansyur. semua isinya tertata rapi siap menerima tamu-tamu pembacanya (ketularan klise nih bahasaku xixixi) yang akan digiring dari beranda ke ruang tafakur (malkan), dari taman depan ke taman belakang (aan). sebagian mungkin puas-puas aja dengan something yang a bit different but not that different; sisanya garuk-garuk kepala — apa sih thumbnail keberadaan? — and left wanting something more radical.