Vakansi Yang Janggal Dan Penyakit Lainnya karya Yosep Anggi Noen mungkin sebuah road movie tentang perjalanan dua hari dua malam mungkin lebih mungkin kurang dari Yogya ke Temanggung lanjut ke Wonosobo kemudian naik ke Dieng, atau mungkin juga sebuah cerita Groundhog Day tentang perjalanan berkali-kali ke tempat-tempat di atas tadi, sebuah observasi sosiologis dan atau meditasi zen tentang apa saja yang mungkin terjadi jika sepasang lelaki dan perempuan terjebak dalam eskapisme check-in dan check-out yang tak henti-henti di untaian hotel melati yang namanya tidak pernah tersebut di brosur pariwisata DIY dan Jawa Tengah.
Apapun pembacaan kita terhadap film ini, perjalanan yang dialami Ning dan Mur adalah usaha mereka untuk bervakansi dari kebosanan, kesedihan, dan kekéréan sistemik khas masyarakat post-feodal Jawa–dan hanya salah satu dari berbagai macam kemungkinan vakansi yang ditawarkan oleh film ini. Vakansi itu juga bisa berupa jalan-jalan sore di sebuah electronic centre untuk window-shopping berbagai macam gadget yang tak terbeli, membeli kebutuhan tertier rokok sebatang untuk menemani konsumsi kebutuhan primer Indomie, atau mengumpulkan recehen untuk membayar emutan seorang pelacur Sarkem.
Ning yang rajin bekerja menikah dengan Jarot yang diam seribu bahasa, suara yang terdengar di rumah sempit mereka hanya hingar-bingar dating game “Take Me Out” di TV atau siaran langsung tinju. Vakansi Ning bersama Mur, seniornya di toko mebel Diana, adalah vakansi yang menurut moralitas Jawa, mungkin sebuah vakansi yang cari-cari penyakit saja. Mulanya, banyak adegan yang terjadi di berbagai macam WC umum, dengan berbagai tingkatan standar higienisnya. Ning berkali-kali ke WC umum, mungkin untuk memasang maxi-pad karena sedang mens, atau mungkin karena alasan yang lebih sinister daripada itu. Suatu kali, ia ragu-ragu membasuh tangannya di sebuah ember di WC umum sebuah pasar kambing, seakan-akan ia ragu apakah usaha untuk mensucikan kembali tangannya ini justru akan membuat tangannya makin bergelimang kuman dan bakteri. Atau, mungkinkah Ning sebenarnya ingin membasuh sesuatu yang lebih susah disucikan—dosa?
Banyak sekali paralelisme dan atau counterpoint visual manis di film ini, Jarot yang window-shopping di electronic centre dijukstaposisikan dengan Mur yang menaksir-naksir kambing di pasar, Jarot yang menggebuk-gebuk kasur kapuk yang lagi djemur dengan kemarahan yang terpendam dijukstaposisikan dengan tangan lembut Ning yang memukul-mukul perut telanjang Mur di kamar motel dengan nafsu yang terpendam, Jarot menguras botol shampoo Lifebuoy yang hampir habis waktu mandi dijukstaposisikan dengan Jarot menguras botol Coca-Cola yang mau digunakan untuk jualan bensin murni dengan air sabun (satu lagi contoh obsesi film ini dengan kegiatan membersihkan—Jarot menyambung nyawa sabun cair dengan menguras botolnya, supaya dia bisa membersihkan diri (mandi junubkah?), dan Jarot menyambung nyawa botol Coca-Cola untuk jualan, supaya dia bisa mencari nafkah, untuk menyambung nyawanya sendiri!).
Counterpoint yang paling menghentak adalah kontras bagaimana Ning akhirnya, setelah foreplay yang begitu lama dan bikin ngaceng sekaligus hampir putus asa, akhirnya menawarkan gawuknya untuk Mur (dalam sebuah adegan yang begitu indah dan menyentuh). Sementara buat Jarot, Ning hanya bersedia mengikat rambutnya ke belakang kemudian mengemut penisnya. Sama dengan yang diberikan oleh seorang pelacur Sarkem kepada Jarot dengan ongkos diskon 20 ribu rupiah.
Ning dan Mur saling menawarkan vakansi yang lebih yahud sekaligus lebih cari penyakit dari banalitas kehidupan mereka, daripada vakansi yang bisa didapatkan oleh Jarot dengan membeli dan membeli. Apakah ini berarti cinta, perselingkuhan, dosa, ternyata menawarkan eskapisme yang lebih dahsyat buat masyarakat semi-modern daripada kapitalisme?
Mungkin juga, walaupun film ini—tidak seperti sebuah brosur pariwisata—sepertinya tidak mencoba untuk menawarkan sebuah vakansi ideal yang akan mengobati semua kegalauan eksistensial post-industrialis anda. Ada satu kemungkinan lajur plot bahwa Ning dan Mur melakukan (salah satu dari) perjalanan mereka untuk menggugurkan kandungan Ning (di satu adegan, Mur mengeluh bahwa ia takut karena mereka akan/telah membunuh seorang manusia, dan Ning berkali-kali ke WC umum untuk mengganti pembalut mungkin bukan karena mens tapi karena pendarahan post-aborsi). Vakansi yahud mereka pun bisa saja menyembunyikan kesedihan yang lebih tiada tara daripada narkolepsi kapitalisme Jarot.
Film ini lebih tertarik mengeksplorasi ide vakansi itu sendiri, kenapa perlu, dan apa saja bentuknya yang telah digubah oleh peradaban manusia. Sebuah insting yang tepat tentang masyarakat kita sekarang sepertinya, saat Twitter, Instagram, Path, dan Tumblr dipenuhi foto-foto liburan kelas menengah Indonesia baik yang ngehek maupun tidak. Juga saat tiba-tiba ada ledakan mini road movie lokal dengan berbagai macam kualitasnya selama dasawarsa terakhir, dari Tiga Hari Untuk Selamanya, Rayya, sampai Laura & Marsha (menariknya ketiga film terakhir ini, tidak seperti Vakansi, dibintangi karakter-karakter borjuis). Vakansi sepertinya memang telah menjadi kebutuhan primer bagi kita sekarang, dengan berbagai macam penyakitnya!
Dan, selalu ada pertanyaan menyesakkan itu di akhir tiap vakansi, “Wis arep mulih to?”*
*Film ini diawali dan hampir diakhiri dengan adegan yang diulang dua kali, bagaikan dalam sebuah loop (salah satu hal yang memberikan petunjuk film ini bisa dibaca sebagai serangkaian snapshots dari vakansi berkali-kali Mur dan Ning), Mur bertanya kepada Ning, “Kowe arep mulih to, Ning?” (“Kamu mau pulang ya, Ning?”). Sebuah pertanyaan setengah retorik dan setengah memohon agar mereka berdua tak usah pernah perlu pulang dari vakansi mereka. Dan film ini memang hampir seluruhnya dalam bahasa Jawa gagrag Yogya, sebuah keputusan pas yang menambahi unsur realisme sosial film ini (bukan realisme sosialis ala Stalin lho ya!). Menarik diketahui bahwa Anggi dan teman-temanya di 56 Films Yogya juga berkecimpung dalam film dokumenter, dan Anggi sendiri pernah membuat film dokumenter tentang grup ketoprak. Sepertinya observasi dan kepedulian terhadap detil-detil sosiologis bukan hal yang asing buatnya.