Sebenarnya aku cukup tertarik/bersimpati/relate dengan kegelisahan yang dirasakan @moulysurya. Bahwa di Jakarta ini hidup begitu bising, begitu penuh neon, begitu penuh omong kosong, sehingga sering jika kita tidak punya cukup uang untuk melarikan diri sejenak ke Bayah, atau Babel, atau Barcelona, kita sering berfantasi seandainya saja kita orang lain, yang hidup di dunia lain, yang tidak seperti dunia kita sekarang. Ini sebuah fantasi yang sering memenuhi kepala-kepala kita #kelasmenengahngehek Jakarta, saat kita dipaksa lembur tanpa batas, terbaring tak berdaya di ranjang RS International yang pelayanannya kampungan karena gaya hidup non-sustainable yang menyebabkan tifus kesekian, saat kita terjebak macet 5 jam hanya karena air turun dari langit. Fantasi mudah kita dapat, bisa kapan saja di mana saja, tidak sesukar ngendon di depan TV tengah malam menanti diskonan tiket AirAsia ke Orly yang tak kunjung datang. Kita tinggal menutup mata dan SHAZAM!: kau dan aku selalu bakslah selamanya di puncak Himalaya (jangan lupa mampir Shimla!).
Begitulah, WTDTAWTTAL adalah sebuah film tentang individu-individu yang mata, kuping, dan mulutnya tertutup. Sekelompok anak di sebuah SLB di antah-berantah yang tidak ada bedanya dengan Melawai Plaza dan sekitarnya. Sebuah conceit yang menarik sebenarnya untuk mengeksplorasi kegelisahan-kegelisahan tadi. Apa yang akan terjadi dengan perasaan-perasaan kita jika kita buta, bisu, tuli, atau ketiga-tiganya? Apa yang akan kita rasakan jika kita tidak bisa melihat reaksi orang lain akan perbuatan kita, tidak bisa mendengar jawaban orang akan pertanyaan-pertanyaan kita, tidak bisa membalas pernyataan-pernyataan orang lain? Seberapa pentingkah peran indera dalam merasa?
Sejauh ini bagus-bagus saja. Namun akhirnya WTDTAWTTAL ini terjerembab ke dalam problem yang sama seperti film-film produksi kaum borjuis Jakarta sekarang (ie, seluruh industri film Indonesia kecuali Postcards From The Zoo dan Nayato Fia Nuala dan seribu alteregonya): kemiskinan pengalaman hidup dan, seperti yang dikeluhkan JB Kris dalam mid-career analysisnya tentang Vino G., melodrama.
Karena perasaan-perasaan yang kemudian dieksplorasi dengan struktur film yang sangat menjanjikan ini ternyata perasaan-perasaan yang itu-itu juga: cinta, kekosongan hidup kaum petit titit bourgeois Jakarta, dan cinta lagi, coming of age, dan cinta lagi. Tema-tema yang sudah berkali-kali dibahas oleh film-film Indonesia yang katanya non-mainstream namun dibuat oleh pekerja-pekerja film yang dekat dengan kekuasaan realpolitik di Jakarta, sekelompok orang yang dihubungkan oleh Six Degrees Of Jajang C. Noer. Dari 3 Hari Untuk Selamanya (coming of age), Pintu Terlarang (the discreet emptiness of the bourgeoisie), sampai Postcards From The Zoo (everything in between)—aku sudah bosan menonton film tentang kelas menengah Zakarta dan kegelisahan-kegelisahan narsisistik mereka. Waktu nonton Negeri Di Bawah Kabut karya Salahuddin Siregar yang bercerita tentang alienasi penduduk sebuah desa di kaki Gunung Merbabu–dan bukan alienasi terhadap diri mereka sendiri tapi alienasi mereka oleh negara!—rasanya seperti menghirup udara segar pegunungan beneran setelah sekian lama menyedot knalpot Metro Mini.
Aku bosan menonton scene-scene yang fungsinya hanya seperti dokumenter terselubung tentang kehidupan kelas menengah aspirasional pembuatnya: sebuah kelas balet, lengkap dengan instrukturnya yang meneriakkan glosari jargon balet dari Allongé sampai Tombé (bandingkan dengan scene kelas berkuda di Berbagi Suami), interior sebuah Alphard berisi seorang tante-tante sosialita yang memberikan M.A.C-up tips kepada anaknya (bandingkan dengan Mama Talida yang overbearing di Pintu Terlarang), kemudian sebuah kos berisi pasangan muda yang berbincang sok filosofis padahal dangkal tentang cinta (bandingkan dengan Radit & Jani).
Apakah kegelisahan-kegelisahan kita hanya itu(-itu) saja? Buatku, Postcards From The Zoo jadi sangat mencengangkan karena struktur fallen peaceable kingdomnya ternyata mengusik dan mengulik banyak sekali problema masa kini yang tidak aku sangka sedang mempengaruhi hidupku. Seperti peran lagu soundtrack Kebun Binatang Ragunan dalam memori kolektif manusia Zakarta umur 30-an, peran mimikri dalam menundukkan kebinatangan Jakarta, kesepian individu-individu Jakarta jika dilihat dari sudut pandang seekor jerapah, paralel dan kontradiksi antara dunia binatang dan manusia (siapakah yang lebih binatang? Apakah sebenarnya kebinatangan itu?), petualangan seorang hetaira modern dalam sosok Lana, etc, etc. Bangunan film Postcards From The Zoo yang surreal/Uncle Boonmee-like itu jadi termanfaatkan maksimal karena masalah-masalah kemanusiaan yang ingin dibicarakan auteur-nya tidak kacangan.
Sementara @moulysurya sepertinya tidak bisa keluar dari kebanalan dan kedangkalan cara berpikir anak gaul Jakarta, di saat ia sepertinya berniat untuk memberikan semacam commentary tentang itu! Ironis ya. Kekurangan ini punya dua konsekwensi: satu, film ini setelah strukturnya yang sok njelimet ditelanjangi, jadi terasa dangkal dan, dua, si auteur jadi tidak sadar sepenuhnya akan potensi struktur sok njelimet tadi karena cuma digunakan untuk mengejar gol-gol yang terlalu gampang. Seperti memakai espresso machine untuk membuat Nescafe.
Menggunakan setting SLB untuk menginvestigasi permasalahan manusia able-bodied sebenarnya ruse yang menarik. Namun @moulysurya tidak menggunakan senjata ini dengan maksimal. Selama di SLB itu hanya dua kali kita menyaksikan dunia dari gaze anak-anak differently-abled itu. Sekali pas layar jadi kabur karena menjadi POV Diana yang clinically blind tapi masih bisa memakai kacamata loop untuk melihat bayangan cowok yang ia taksir. Dan sekali lagi waktu suara hilang dari bioskop karena kita diajak merasakan dunia dari sudut pandang (dengar?) seorang anak metal kampung yang terlalu cakep dan gagah untuk jadi anak metal kampung dan baju-bajunya terlalu Goods Dept dan terlalu ditriska pembantu. Seakan-akan kita diajak untuk mengamati dunia anak-anak SLB namun kemudian dipaksa untuk melihatnya dari mono-gaze si auteur saja. Bandingkan dengan Postcards From The Zoo, di mana kita berkali-kali diajak menyaksikan tingkah manusia dari sudut pandang binatang dalam kandang. Lumrah toh, kan kita lagi di kebun binatang!
Aku kira kesadaran untuk mengeksploitasi POV margasatwa dalam Postcards From The Zoo datang secara organik, karena Edwin benar-benar lebur dalam dunia rekaannya. Menjadi suatu hal yang alami jika ia kemudian mencoba melihat dunia dari sudut pandang margasatwa, karena yang ingin ia amati adalah pengunjung-pengunjung mereka. Dan ia juga terbantu karena investigasinya lebih ambisius, ia ingin tahu lebih banyak tentang problem-problem manusia daripada sekedar apa yang tidak dibicarakan ketika membicarakan cinta (apa yang tidak dibicarakan ketika membicarakan Prometheus, identitas, dan alienasi?), sehingga ia mungkin dipaksa juga untuk menggunakan semua jurus yang ia punya.
Seperti ada kemalasan atau ketakutan dalam WTDTAWTTAL untuk menggali lebih dalam permasalahan manusia. Alternate universes yang digembar-gemborkan/dibangga-banggakan itu semua menggambarkan milieu yang sama. Sevel Melawai di tengah malam tanpa balita gelandangan yang biasanya masih mengais sampah di depannya, pesta dansa RuRu yang ditransplant ke dalam SLB menjadi Malam Perpisahan, kaos-kaos @nicsap yang terlalu Portobello Market daripada Blok M Square. Karena gaze yang dangkal terhadap dunia, metafor-metafor visual film ini pun jadi klise pula: berbagi-bagi warna kepada anak-anak buta dalam bentuk rainbow cake (O delicious irony!), menyisir rambut sebagai metafor pursuit for beauty via mahkota wanita (rambut sebagai metafor selaput dara?), ballet sebagai metafor keborjuisgengsian kelas menengah Jakarta (kasihan ballet diseret-seret terus jadi metafor keborjuisan!).
Sebenarnya ada satu scene yang cukup menyentuh bagiku. Waktu alterego Anggun Priambodo naik motor tengah malam keluar dari terowongan (Senen?) dan ia menegakkan badannya berdiri di atas foot pegs motor bebek vintagenya. Sebagai seseorang yang naik motor juga keliling Jakarta, sering sekali kalau lagi naik motor tengah malam aku juga ingin lepas tangan saja dan berselancar di atas motorku membiarkan bau got dan angin dingin Jakarta menerpa wajah. Rasanya mungkin akan seperti kebebasan. Namun kenapa yang naik motor di film ini harus seorang anak hipster RuRu dengan helm dan motor bebek vintage? Kenapa tidak seorang bapak-bapak kurir berjas Ramayana Motor Ciledug di atas Honda Supradit? Apa gunanya alternate universes di film ini jika tidak ada alternatif selain kehidupan pseudo-hipster?
Rasanya, yang tidak dibicarakan ketika membicarakan cinta bukan cuma narsisisme kelas menengah Jakarta saja? Namun kemudian aku membaca ini di Twitter:

Oke deh, mungkin life experience anak gaul Jakarta sekarang begitu miskinnya sehingga mereka harus mendapatkan makanan pengganti kehidupan dari film yang dibikin oleh teman-teman mereka sendiri. Semacam narsisisme solipsistik akut yang trada obatnya. Good luck.
Tambahan (16 Mei 2020): waktu menulis review ini aku belum membaca wawancara Mouly dengan Adrian “Pekerja Teks Komersil” Jonathan di Film Indonesia. Masih ragu dengan bourgeois-gaze Mouly? Silakan baca quote di bawah ini:
“Tadi saya cerita ada anak yang senang banget sama ST12; itu bisa terjadi karena mereka sesenang itu sama musik. Hal itu yang saya coba suntikkan dalam Don’t Talk Love dalam sejumlah adegan semi-musikal. Pakai lagu Burung Camar karena musik pop. Kalau pakai lagu ST12, kok nggak enak ya didengarnya, makanya pakai lagu lawas. (Tertawa)”
(TERTAWA NGAKAK)