Pertaruhan

menurutku kompilasi film pendek “pertaruhan” itu contoh yang masih bisa dipertanyakan tentang bagaimana feminisme diangkat spiritnya untuk menampilkan kisah-kisah seputar dunia perempuan.

karya ucu agustin tentang mbak nur, pelacur di kuburan bolo yang kalau siang bekerja sebagai pemecah batu, yang dipuji di mana-mana itu misalnya—selain bahwa hidup mbak nur keras, bahwa seperti judul segmen itu semua yang dilakukan mbak nur adalah untuk “ragat’e anak” (“ongkos punya anak” buat yang non-jawa di sini), aku kira aku tidak mendapatkan lebih banyak lagi tentang dia.

apalagi tentang preman-preman di pemakaman cina bolo itu yang hanya diperlihatkan pas mabuk dan menjelma sebagai karikatur seram tentang laki-laki (tentunya mereka memang seram, tapi apakah membalas demonisasi perempuan dalam sejarah indonesia, eg, gerwani sebagai nenek sihir-nenek sihir jahat, dengan balik mendemonisasi laki-laki adalah “spirit feminisme”?).

aku nonton di widjojo centre dan di diskusi setelahnya nia dinata menjelaskan panjang lebar bahwa ia ingin membuat film dokumenter yang “fighting [sic](?), non-judgmental”, sementara jelas-jelas bahwa film ini sangat judgmental dalam keempat segmennya! kaum agamis dan laki-laki hampir selalu muncul sebagai bahan ledekan saja. bukan hanya judgmental, film ini kadang juga sangat dangkal! ia hanya menawarkan judgment yang LAIN dari judgment yang menurut pembuat-pembuat film ini adalah judgment yang salah, bukan tidak menawarkan judgment/non-judgmental sama sekali.

yang juga mengerikan adalah film ini menawarkan judgment itu dengan agak licik, misalnya di segmen tentang khitan perempuan, ada seorang nenek-nenek ulama mui dan kakek-kakek kyai (ayah nong darol mahmada salah satu nara sumber segmen itu) yang diperlihatkan mengeluarkan pernyataan-pernyataan bodoh seperti “khitanan wanita untuk mengontrol syahwatnya” yang tentu saja mengundang tawa penonton sementara nara sumber yang berpihak kepada penonton/anti sunatan wanita seperti nong diperlihatkan selalu morally correct tanpa cela.

di sesi diskusi nong sendiri menjelaskan bahwa dialog dengan abahnya itu sebenarnya jauh lebih panjang dan abahnya sebenarnya tidak seburuk itu juga, tetapi dari film itu sendiri mana penonton akan tahu? kalau itu benar yang dikatakan nong kenapa keambivalenan sikap abahnya ini tidak diikutsertakan di dalam film itu? bukankah ini yang kalo di dunia perpolisian dikatakan sebagai “entrapment”, memancing seseorang untuk melakukan kejahatan kemudian menangkapnya basah-basah kemudian menghukumnya? di kasus ini, memancing abah nong untuk mengucapkan hal yang jahat, kemudian menghukumnya dengan mempertontonkan dan mengolok-olok kejahatan/kebegoannya di depan publik. apakah pantas ini dilakukan dalam sebuah film dokumenter?

kenapa tidak dijelaskan, misalnya, konteks sosial/kultural/pedagogik di sekeliling nenek-nenek/kakek-kakek ulama itu, kenapa mereka masih begitu bodoh/kuno di tahun 2008? kenapa mereka di film ini hanya ada utk ditertawakan? apakah itu “spirit feminisme”, menertawakan orang lain yang tidak setuju dengannya?

aku jadi teringat dengan film borat sacha baron cohen. sama juga sacha menjebak orang-orang untuk mengekspos kebodohan mereka sendiri, tapi paling tidak ia menciptakan persona borat yang sama bodoh dan menjijikkannya dengan orang-orang yang ia telanjangi kebodohannya. ia tidak seperti pendeta yang menuding-nuding pendosa di antara jemaatnya. ia sendiri juga pendosa.

Leave a comment