*i’ve found that if you change the order of the nouns or group of nouns in an afrizal malna poem, not only will you end up with a still totally comprehensible poem, you’ll have in your hand a still totally comprehensible afrizal poem! compare the scramble immediately below with the original after it:
sapi-sapi hitam itu keluar dari atap kening yang
runtuh. lubang yang tak punya merah.
batu kata di kalimat-kalimat kecil.
keringat asin dan bau rokok di
atas sarung. aku membawa apa saja
dari yang mereka punya. mereka tidak
melupakannya. ada puntung waktu yang
membungkus bahasa mereka, seperti
piring yang lembab. bayangan me-
reka, massa yang memamahi
gang-gang pendek. mereka yang
membuat senja pada kaki-kaki dengan
kulit telurnya yang bersayap.
sarung itu akan menarik sebuah kota
yang kandas di tengah kuku. mereka
adalah sepatu dan bajuku, atap dari massa
bahasa yang runtuh. mereka pernah
membuatkan ibu bapakku, sisa
bau mulut di tubuhnya mengantarku
ke rumah. mengajakku berenang
dalam telinga mereka yang dibanjiri oleh
telur. mereka menyimpan bau
bawang di lipatan massa mereka, uang
sewa sekolah bulanan, harga minyak
merah yang baru dikupas bersembunyi
di bawah kulit kapal.
rasa takut itu harus ditarik, seperti melepas-
kan kota dari manusia kelabu. kalau
tidak senja akan menjadi kalimat
yang penuh massa. mereka membawa
akhir musim panas yang panjang. upah
harian yang memanjang dari bulan mei
terakhir pintu masuk rumahmu
setelah menerima bayangan waktu.
batu itu menyambung bau satu per
satu, seperti menyambung kembali tali
langit dari seorang pekerja bangunan
hingga bulan yang lalu. mereka
pernah membuat pakaianku, mencuci
rumahku, dan kapal yang
bersembunyi di dalam piring.
mereka mulai menarik atap yang
kandas itu. tetapi sayap-sayap uang
tertancap dalam perut api. bau kapal
mengalir seperti keringat dan kota dalam
perut bahasa. baling-baling minyak me-
layang-layang dari kapal kota yang
runtuh itu. guru itu adalah massaku,
yang pernah membunuh rumahku,
tidak, di kaki-kaki pintu
kemerdekaan. tidak. piringnya tak
pernah hilang seperti atap bahasa,
tidak, di setiap massa msuk kota.
tidak. pintu itu. tidak. adalah halaman
belakang kata yang melihat kalimat telah
tersalib di gelas. luka dan
tembok kota telah berjalan meninggalkan
kota yang kandas itu, mencari kapal
baru: paman untuk semua makhluk.
memasang kembali akar rumput yang
runtuh itu, seperti memasang waktu
yang menyapamu di depan pesta.
atap bahasa yang runtuh
massa itu keluar dari atap bahasa yang
runtuh. senja yang tak punya merah.
kaki-kaki kata di gang-gang kecil.
kulit telur asin dan puntung rokok di
atas piring. mereka membawa apa saja
dari yang mereka punya. aku tidak
melupakannya. ada bau waktu yang
membungkus kening mereka, seperti
sarung yang lembab. bayangan me-
reka, sapi-sapi hitam yang memamahi
kalimat-kalimat pendek. mereka yang
membuat lubang pada batu dengan
keringatnya yang bersayap.
massa itu akan menarik sebuah kapal
yang kandas di tengah kota. mereka
adalah ibu bapakku, massa dari atap
bahasa yang runtuh. mereka pernah
membuatkan sepatu dan bajuku, sisa
bau telur di telinganya mengantarku
ke sekolah. mengajakku berenang
dalam tubuh mereka yang dibanjiri oleh
mulut. mereka menyimpan harga
minyak di lipatan sarung mereka, uang
sewa rumah bulanan, bau bawang
mereah yang baru dikupas bersembunyi
di bawah kulit kuku.
kapal itu harus ditarik, seperti melepas-
kan senja dari langit kelabu. kalau
tidak kota akan menjadi bulan mei
yang penuh batu. mereka membawa
akhir bulan yang panjang. bayangan
waktu yang memanjang dari kalimat
terakhir seorang pekerja bangunan
setelah menerima upah harian mereka.
massa itu menyambung tali satu per
satu, seperti menyambung kembali bau
manusia dari pintu masuk rumahmu
hingga musim panas yang lalu. mereka
pernah membuat rumahku, mencuci
pakaianku, dan rasa takut yang
bersembunyi di dalam piring.
mereka mulai menarik kapal yang
kandas itu. tetapi baling-baling kapal
tertancap dalam perut kota. bau uang
mengalir seperti minyak dan api dalam
perut kota. sayap-sayap keringat me-
layang-layang dari kapal bahasa yang
runtuh itu. massa itu adalah guruku,
yang pernah membunuh pamanku,
tidak, di halaman belakang pesta
kemerdekaan. tidak. lukanya tak
pernah hilang seperti akar rumput,
tidak, di setiap pintu masuk kota.
tidak. massa itu. tidak. adalah kaki-
kaki kata yang melihat waktu telah
tersalib di tembok kota. piring dan
gelas telah berjalan meninggalkan
kapal yang kandas itu, mencari kota
baru: rumah untuk semua makhluk.
memasang kembali atap bahasa yang
runtuh itu, seperti memasang kalimat
yang menyapamu di depan pintu.