godila

Kau buka pintu dengan bahu
dan setumpuk map di pelukan
«Hai, tempat ini lucu»
«Ya, sayang sekarang kau baru datang.»

Aku memesan cappuccino sepuluh ribu
dan kau teh mint,
empat tumpuk sandwich dengan keju,
kemudian «Bagaimana, how are you?»

«Mereka masih mengupdate berita tentang dia,
terakhir, she’s pregnant, dan benua itu
masih developing saja. Kamu?»
Dan kau memeluk muka dengan kedua tangan.

Mukamu kelihatan seperti burung lucu.
«Huh, aku? Dunia berputar terlalu cepat
tapi aku butuh dua hari cuma untuk
mengeringkan celana. Uniqlo,
karena Muji terlalu shibui.»

Merajuk di Gondangdia, seperti sebuah judul lagu lama.
«Ya, banyak di sajak Rendra.»
Lampu bajaj yang temaram, pelayan Trio yang berambut malam. Kita di
jantung kota, rasakan detaknya.
«I wish I’d brought my underground sonar.»

«Di hotel sebelah aku pernah bangun pagi-pagi telanjang dada
hanya handuk beku menutupi kaki. Tiga helai
rambutnya yang mudah rontok dan bau pipinya yang seperti permen
di bahuku yang perih.»

«Rasanya seperti apa setia?»
«Seperti berkhianat, hanya lebih jahat.»
«Kota ini seperti tong setan, selalu seakan seperti mau mencelat
keluar…»
«Tapi kemudian, lagi-lagi, berakhir dengan diam di tempat, ya kan?»

Gerimis turun lewat atap bolong berangka baja
Ujung sigaret menyala seperti supernova
Hanya kau yang bisa merasakan, nanti,
Di akhir malam, akankah ada mawar berpindah tangan?

«Lebih baik mungkin kita pindah meja, kalau mau di sini lebih
lama.»
«Good idea—sampai di mana tadi, kau bilang aku sebenarnya tak
pernah ingin apa-apa?»
«Bukan, aku. Kalau aku seorang sutradara, aku tak akan peduli tentang grammar.»
«Buatku, hidup hanyalah menumpang duka.»

Di rak, majalah wanita berbaris lesu
Di kulkas kaca, sunkist berderet seperti tata surya
Di luar, klakson bermain ping-pong dengan kesenduan
Malam menganga seperti Wisnu Tiwikrama

«Menurutmu, di novelku tentang urban Jakarta itu,
rusak nggak kalau aku punya satu karakter bernama Wisnu Tiwikrama?»
«Mungkin tidak, asal kau mengejanya
V-I-S-H-N-U T-I-V-I-K-R-A-M-A.»

«Halah, les hommes d’aujourd’hui veulent que le
poème soit à l’image de leur vie, faite
de si peu d’égards, de si peu d’espace et
brûlée d’intolerance.»*

«I know. Abbasalutely. Brûlée d’everything really.
Everything’s either on edge or on fire. Temanku pernah
menghabiskan seharian dengan orang gila dan rasanya seperti
bukan apa-apa. Because everyone and everything is crayzeee.»

«Memang benar. Seperti membaca Afrizal’s «Seperti sebuah novel
yang malas mengisahkan tentang manusia.» Maksudku, orang itu gila,
tapi, buku itu, that’s just the way things should be
and are.»

….
……………..
…..
…………….

«Did you just say abbasalutely?»
«Yeh, ab____lutely. Kenapa nggak?»
«Aku kira hanya aku yang tahu tentang itu.»
«Pernah lihat daun kelor itu sebenarnya segede apa?»

……………………………………

Aku seperti ingin merengkuhmu dari balik meja
Meratakan sinom di dahimu, memelukmu di tengah prairie merah muda.
Aku tahu sekarang bagaimana rasanya berapi-api dan tidaksabaran.

*orang-orang sekarang ingin puisi persis seperti hidup mereka, tergesa-gesa, begitu sempit, berapi-api dan tidaksabaran. – René Char, «Argument».

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: