aku merasa terbebani dengan tempat tinggalku. temanku di tempat kerja pernah tinggal di delhi. ia membawa-bawa kenangan tentang masa itu seperti malas mencari simile. aku pernah tinggal di boyce st. di sebuah basement rumah sandstone yang menempel di dinding tebing di atas sebuah pacuan kereta kuda. setiap pagi aku dibangunkan oleh taktiktuktiktaktiktuk swara sepatu kuda dan pekikan joki. suara cambuk ctarrr ctarrr. sarapanku biasanya two slices of toasted latvian black bread dilapisi alpukat dan ditaburi garam flakes dan merica yang digerus sendiri. kenangan borjuis ini tidak ada artinya bagiku maupun bagi orang-orang di sekitarku. aku pernah tinggal di bondi. setiap pagi aku bangun terus jalan ke pantai, cuma seratus meter dari flatku. renang sebentar, berjemur, pulang sarapan. what a life. kenangan borjuis ini tidak ada artinya bagiku apalagi bagi orang-orang di sekitarku. aku pernah tinggal di jogobayan, desa kecil di pinggiran madiun. bapakku tinggal di jakarta. suatu siang, aku dan adilkku melihat pak penjual es dong-dong di ujung jalan menuju ke rumahku, kami berteriak-teriak gembira: “pak’e teko! pak’e teko!” eyangku lari-lari keluar rumah, hampir kesrimpet jariknya. ia kira bapakku yang datang. kenangan ini tidak borjuis.
aku ingin membuat sebuah stensil bergambar kenangan.