broken, bab 2

saya tidak pernah suka orang yang bunuh diri. sylvia plath sekalipun. apalagi orang yang mengancam bunuh diri tapi nggak mati-mati. haduh itu paling harap. bikin panik aja. total attention seeker. tapi saya ingin bercerita, tentang suatu saat di dalam hidup saya, waktu saya mengerti, kenapa ada orang yang merasa memang lebih baik cabs aj dari hidup ini.

waktu itu saya baru dua bulanan tinggal di australia. umur saya 16 tahunan lebih beberapa bulan. setelah dua bulan di sana, jumlah teman saya bulat, 0. saya setiap hari makan siang di tepi cricket oval duffy high school di canberra, sendiri, memastikan di depan saya tidak ada murid lain. apalagi yang berdua pacaran saling berbagi susu moove kotak rasa coklat. jika ada yang kebetulan duduk di depan saya, diam-diam saya akan beringsut ke depan mereka, biar saya tidak harus melihat punggung mereka yang begitu memancarkan bahagia. begitu terus kuhindari bule-bule ABG itu. by the end of lunchtime, id be at the cricket strip taking guard with my lunch box, but i was free from having to witness human relationship which at that time i was having a lot of trouble admitting i craved.

pada waktu itu saya tergabung dalam sebuah kelas yang saya tidak ingat namanya apa. pelajarannya macam-macam, dari bagaimana memberikan first aid sampai nasihat-nasihat hippie mahayana tentang intervensi macam apa yang sebaiknya kita berikan kepada teman yang mulai menunjukkan tanda-tanda kebanyakan nyabu. it was like a guru BP bootcamp.

di akhir kelas itu, mereka merencanakan pergi kemping. to the coast, katanya. saya memutuskan untuk ikut. sebenarnya aneh saya memutuskan untuk pergi kemping bersama orang-orang yang tidak pernah saya ajak bicara selama dua bulan. (suatu hari saya pernah merasa hampir meledak di dalam kesunyian saya sendiri sehingga saya keluar dari kelas dan bersembunyi di WC.) tapi waktu itu saya pikir, ya apa salahnya, its not gonna make any difference, it would just like be hell like any other day.

saya pergi kemping tanpa tahu “coast” dalam jargon australia berarti apa. saya pikir seperti kuta. maka waktu kita nyampai di bumi perkemahan di pinggir pantai dengan satu convenience store merangkap pom bensin yang sudah hampir tutup dan tidak ada lagi satu bangunan permanen pun, i thought, fuck me dead, i only brought bread and nutella! fuck!

sementara teman-teman yang lain membawa steaks, ribs, potatoes yang sudah di-herb-in dan dibungkus foil tinggal bakar, dan makanan-makanan yang dari jauh kelihatan lejat bet.

dari jauh, karena saya malu tidak membawa bekal sehingga saya memutuskan untuk jalan-jalan saja daripada mengemis makan malam. saya berjalan cukup jauh juga, ke arah tanjung, atau dalam jargon australia, heads. naik ke atas seperti sebuah bukit kecil yang berakhir dengan tebing dan laut lepas di bawahnya.

pada saat ini saya sudah beberapa lama mengembangkan sebuah keakraban yang berlebihan dengan benda-benda mati. tentu karena saya tidak punya teman yang bisa diajak bicara. sehingga jika jalan pulang sekolah saya akan memperhatikan setiap cabang pohon-pohon di atas kepala saya (lagian kan kalau tengadah air mata nggak gampang mengalir jatuh ke pipi :P), setiap daun di semak-semak tetangga, setiap kerikil yang saya tendang dari trotoar kemudian saya pungut karena kasihan. (what empathy to dead things!)

di atas tebing itu saya begitu tertarik memperhatikan ombak yang memecah batu-batu jauh di bawah saya. waktu itu hari baru mulai gelap walaupun sudah jam delapan malam karena pas musim panas. saya ingat mata saya seperti periskop, mengamati butir-butir air putih di ujung ombak yang menghantam batu-batu yang hitam basah. everything was in slow motion. beautiful. peaceful. kalau ini terjadi di tahun 2008, mungkin sontreknya ara batur.

tiba-tiba saya tersentak keluar dari keindahan sublim ini karena kaki saya hampir kepeleset di ujung tebing. ternyata mata saya bukan periskop, tubuh saya memang tanpa saya sadari semakin mendekat ke ombak-ombak itu, saya telah berdiri di ujung tebing yang tidak ada pagar pengamannya, menjulurkan kepala saya ke bawah supaya bisa melihat ombak-ombak indah itu lebih dekat.

mungkin ini tidak sama dengan yang dirasakan orang yang akhirnya memang beneran bunuh diri. saya hanya merasakan kesatuan yang demikian indah antara saya dan alam pada waktu itu. saya hanya ingin hilang, melupakan perut yang keroncongan, ketakutan mau dipasangkan tidur di tenda sama siapa malam itu, keperawanan yang tak kunjung hilang. dan rasanya, sebelum saya terpeleset dan lamunan (but it felt so real) saya itu buyar, saya memang sudah hilang.

bagaimana seandainya saya tidak pernah tersadar dari lamunan sublim itu? bagaimana jika saya tidak terpeleset, tapi langsung jatuh ke bawah tebing, ke sinkroni batu dan ombak yang begitu indah itu?

legendanya sylvia plath memperhitungkan bahwa tukang susu akan datang ke flat-nya sebelum dia benar-benar sudah mati dengan kepala di dalam oven, dan menyelamatkannya, tapi tukang susu itu tidak pernah datang.

mungkin post ini seperti oven itu.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: