esei damhuri muhammad di kompas minggu (2/8/09), yang berjudul ‘romantika pasca-enam lima’, meminjam istilah pengarangnya sendiri adalah tulisan yang tidak ‘akan berdiri sebagai peristiwa yang mandiri’. kita perlu memperhitungkan ‘fakta-fakta’ di luar ‘esei’ ini.
membaca esei ini saya jadi sadar, damhuri memang hidup di masa ‘pasca-65’ tapi mungkin bukan tahun 2009. begitu takutnya dia dengan ‘stigma PKI’ sehingga dia susah2 mencoba membuktikan bahwa tulisan2 martin aleida ‘tidak perlu dicurigai mengusung tendensi tertentu.’ bahkan dia bilang ‘tendensi tertentu’! apakah orde baru masih berkuasa? kenapa damhuri tidak bilang saja PKI/marxisme/komunisme etc.?
kelihatannya yg dimaksud damhuri dengan ‘pasca-65’ adalah tahun 1980-an, setelah film pengkhiatan g30s/pki dirilis dan kata ‘PKI’, ‘marxisme’, ‘komunisme’, etc. menjadi sama mengerikannya dengan ‘Sundel Bolong’, ‘Nyi Roro Kidul’, ‘Bayi Ajaib’.
sementara martin aleida sudah lama ‘boldly gone where no mas has gone before’ dan justru ingin kepro-PKI-annya terlihat jelas di seluruh cerita2nya. martin menyebut tulisan2nya sebagai ‘sastra kesaksian’, klaim yang diakui oleh damhuri dalam ‘esei’ ini dengan menyebut martin sebagai ‘penggerak sastra kesaksian’ !
namun dalam eseinya damhuri melawan argumen katrin bandel dalam kata penutup kumcer martin terakhir, ‘mati baik-baik, kawan’, bahwa ‘tampak jelas martin bukan sekadar ingin menceritakan peristiwa 65 dari perspektif yang berbeda, ia juga punya misi untuk melawan pemalsuan sejarah.’ menurut damhuri, argumen katrin ini adalah ‘cara menimbang yang agak berlebihan dalam konteks pembacaan teks sastra.’
perlawanan ini sama sekali tidak menghiraukan bertumpuk2 bukti dalam kumcer ini maupun dalam cerita2 martin yang lain bahwa martin memang punya misi yang disebutkan katrin tadi. sekedar contoh, dalam cerpen ‘malam kelabu’, disebutkan nama desa soroyudan, mojo dan laban, ketiga2nya basis PKI di tepi bengawan solo. saya sempat berpikir bahwa nama2 desa ini adalah nama samaran. ibu saya berasal dari bekonang, kecamatan mojolaban, di seberang bengawan solo kalau dari arah kota solo (juga tempat asal arswendo asmowiloto dan jujuk srimulat). saya pikir desa mojo dan desa laban yang disebutkan martin dalam cerpennya adalah nama samaran untuk satu desa ‘mojolaban’, tapi setelah saya cek dengan ibu saya, desa mojo dan desa laban memang dua2nya ada, dan dua2nya basis PKI.
jadi bahkan martin pun berusaha melawan propaganda geografis orba, melawan pemalsuan sejarah yang di masa orba sering mengambil bentuk pemalsuan atau penyamaran nama tempat yang menjadi latar cerita tentang PKI dan orang2nya. (coba ingat-ingat, di manakah sebenarnya dukuh paruk?)
dalam eseinya, damhuri memakai pendekatan yang sangat sempit untuk membaca cerpen-cerpen martin, memvonisnya dari awal sebagai (sekedar) ‘romantika’, dan segan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan selain itu. sayangnya hal ini sering sekali terjadi. banyak penikmat maupun kritikus sastra indonesia yang sepertinya lebih nyaman menempatkan sastra sebagai sesuatu yang oh so suci dan tidak sepantasnya dikotori dengan hal-hal yang tidak sastrawi macam sejarah, apalagi politik (apalagi tendensi tertentu). jika anda menghadiri diskusi buku martin yang dibahas ini di pds hb jassin beberapa bulan yang lalu, anda akan bisa menyaksikan kecenderungan ini secara langsung.
salah satu kemungkinan yang seharusnya bisa dipertimbangkan damhuri adalah membaca karya sastra sebagai ‘historical documents’, seperti yang dilakukan salah satunya oleh robert darnton dalam buku klasiknya, ‘the great cat massacre’. satu lagi kemungkinan adalah memakai pendekatan new historicism, atau versi abal2nya di sini, ‘sastra kontekstual’. namun ironisnya, esei yang dimuat di kolom ‘sastra’ kompas minggu dan memakai gaya pseudo-akademis ini (termasuk memakai catatan kaki, eg, ‘terj. Akhadiati Ikram, 1991’) justru malah menunjukkan tendensi (pun intended) alergi kepada pendekatan-pendekatan akademis.
jadinya, esei ini seperti menderita split personality: di satu pihak nadanya santun dan berhati-hati, namun di lain pihak isinya menghakimi dengan sepenuh hati kalau tidak bisa dikatakan agresif. hal ini menghasilkan ironi-ironi lain yang sepertinya tidak sepenuhnya disengaja, seperti mengutip asvi warman adam—sejarawan kiri indonesia yang sering menulis tentang kekerasan ’65—yang mengatakan bahwa cerpen2 martin aleida adalah ‘upaya mengejek dan menertawakan nasib orang2 yang tergetahi stigma PKI… [yang] peruntungan mereka lebih ditentukan oleh stigma PKI itu’, tapi kemudian hampir dalam nafas yang sama bilang bahwa nasib kamaluddin—protagonis cerpen martin ‘malam kelabu’ di buku ‘mati baik-baik, kawan’ yang bunuh diri di tepi bengawan solo begitu tahu pacarnya partini dibunuh oleh massa karena bapaknya adalah pemimpin Barisan Tani Indonesia cabang Soroyudan—’dipastikan tak ada hubungannya dengan peristiwa2 berdarah pasca-65′.
di dalam cerpen itu, martin menceritakan dengan gamblang bahwa kamaluddin bunuh diri karena patah hati (‘romantika’-nya di sinikah?) pacarnya partini dibunuh massa karena dituduh PKI seperti bapaknya. klaim damhuri bahwa bunuh diri kamaluddin ‘tak ada hubungannya dengan peristiwa2 berdarah pasca-65’ jadi susah diterima karena ia tidak memberikan alasan yang lebih kuat selain klaimnya sebelumnya bahwa semua cerpen martin dalam kumcer ini memang ‘romantika’ semata. klaim yang dibuktikan dengan klaim.
contoh lain pembuktian klaim dengan klaim ini adalah waktu damhuri kemudian mengutip apa yang terjadi pada dewangga dan abdullah ‘dua sejoli sehidup-semati’ dalam novel martin ‘leontin dewangga’. damhuri mengatakan bahwa ‘tabu setangguh apa pun, tiada bakal berkutik di hadapan cinta sejati.’ ini setelah menceritakan kembali bagaimana abdullah adalah ‘mantan tapol yang dimusuhi banyak orang dan hidup menggelandang demi menghindari kejaran’ dan bahwa dewangga ‘juga pernah ditahan’ dan baru ‘bebas setelah merelakan tubuhnya ditiduri oleh seorang komandan militer.’ damhuri seperti mengajak pembaca untuk menghiraukan saja klaim-klaim ala ‘sastra kesaksian’ martin dalam cerpen-cerpennya. lebih baik mempercayai klaimnya sendiri bahwa semua itu hanya bagian dari kecenderungan ‘romantika pasca-65’.
damhuri sepertinya ingin membaca cerpen dan novel martin sebagai ‘romantika pasca-65’ di mana kekerasan politik macam apapun ‘tiada bakal berkutik di hadapan cinta sejati’.
walaupun para pemilik cinta sejati itu semuanya mati tersiksa dalam penderitaan.
happily dead ever after.
semacam gabungan antara mills & boon dan american psycho.
memodifikasi sedikit kata katrin dalam kata penutupnya tadi menjadi sebuah pertanyaan retorik, seorang pengarang kritis, apalagi kritikus, di tahun 2009 pasca-65 ini seharusnya tidak lagi bertanya, mengapa cerpen2 martin aleida dicurigai mengusung komunisme/marxisme/PKI-isme/BTI-isme (ie, ‘tendensi tertentu’) tapi apa rupanya yang salah dengan itu? with that out of the way, mungkin damhuri justru akan bisa lebih fokus mencari bukti tekstual yang lebih dari sekadar klaim untuk membuktikan bahwa yang ditulis martin sebenarnya adalah romantika, bukan sastra kesaksian.