ledakan-ledakan kecil jadi kebakaran dalam tubuh saya.
saya adalah orang yang percaya dengan referensi. abad yang berlari bukan puisi saya, itu puisi indonesia. di senen, di dunia saya, telinga bisa dijadikan kuping.
hidup adalah getaran lantai bis kota. dada datang dari dunia yang tidak bernama. saya kembali ke tubuh saya.
saya percaya dengan pekerjaan-pekerjaan fisik, untuk keluar dari puisi indonesia. tubuh sayalah yang mencipta bahasa.
bahasa indonesia tidak menerjemahkan saya, tapi menggantikan saya.
menjadi manusia begitu repot. banyak hal yang keliru dengan eksistensialisme. yang paling sulit justru bagaimana menjadi tidak ada, menjadi nothing. itu mengharukan.
saya mengerti kenapa orang pakai drugs. bagaimana keluar dari cengkeraman hotspot? saya nggak cocok pakai drugs. saya pakai pekerjaan-pekerjaan rumah, betulin genteng bocor. itu yang paling mudah untuk lupa, untuk hidup murni.
saya merasa tidak wajib untuk menulis puisi.
puisi sekarang mengindekskan dirinya sendiri. puisi tentang puisi itu sendiri dan soal kepenyairan. puisi mengalami krisis identitas. prosa sekarang pesta pora. puisi ketakutan. kesibukan menjaga identitas. lari ke lirisisme dan romantisme. memakai bentuk klasik tapi reinteriorisasi saja.
reinteriorisasi tidak terjadi di dunia penyair yang kuper. yang cuma suka puisi.
ruang dalam dan ruang luar kata itu produk jakarta. di jogja saya hidup tanpa koran. saya cenderung curiga kepada bahasa lisan.
setelah teman-temanku dari atap bahasa, titimangsa saya buang. saya ingin merasakan waktu.
saya tidak bisa merasakan waktu, padahal saya sudah berusaha hidup dengan sepeda.
ruang-ruang di jakarta itu cacat, luka. saya menyembuhkan luka dengan naik sepeda.
bahasa membuat saya jadi seekor anjing.
repetisi adalah kedalaman.
saya seorang komunis yang tidak menyatakan diri.
saya menakuti kekerasan karena saya tidak tahu cara-caranya.
sampai sekarang saya tidak tahu kuburan ayah-ibu saya.
saya sering menyerahkan diri pada sesuatu yang saya anggap gelap. saya berusaha terbuka kepada yang tidak terduga, kepada momen.
tidak bisa hidup di jakarta tanpa performance. masjid dulu rumah nothing, untuk menangis, berdagang, atau tidur.
kadang-kadang saya mencuci pakaian teman, untuk keluar dari ego.
*mashup of afrizal malna’s speech at “bincang tokoh”, taman ismail marzuki, 17 december 2010.