Sesuatu Indonesia: Personifikasi Pembaca Yang Tak Bersih

oleh Afrizal Malna

Yayasan Bentang Budaya, 2000

580 halaman (dapat salam dari War and Peace)

 

 

aku sudah beli buku ini lama, bertahun2, tapi tak pernah membacanya karena berat, like literally, this book is a doorstopper/brick/a ton of bricks. berat banget. kertasnya tebal, kertas sampulnya art paper tebal. makes me think mungkin ipad gak berat2 amat kali yak.

 

afrizal adalah seorang intelektual yg cerdas, dan gila bahwa buku ini tidak terdengar gaungnya dan orang jarang menyebut atau menyitir isinya. padahal, bagiku sendiri paling tidak, buku ini tempat pertama kali aku akhirnya menemukan jawaban untuk pertanyaan2 yg kedengarannya tolol dan naif tapi aku memang belum pernah menemukannya di buku lain, seperti: kenapa puisi sdd suka disebut puisi suasana? atau apakah itu sebenarnya puisi gelap?

 

afrizal ternyata memang pembaca puisi dan kritik puisi dan sejarah puisi yang tekun, pengetahuannya ttg puisi indonesia, baik yg didapatkannya dari membaca atau dari pergaulan pribadinya dengan penyair2 lain, sangat ensiklopedik. ternyata puisi sdd sering disebut puisi suasana karena subjek aku-lirik suka dihilangkan. puisi gelap (duistere poezie) ternyata istilah yg pertama kali digunakan oleh chairil anwar utk menilai puisi2 amir hamzah. bagi chairil puisi2 amir “gelap” karena memerlukan pengetahuan sejarah dan agama untuk memahaminya.

 

selain arsipis yang tekun, afrizal juga pemikir yg orisinil. ide2nya ttg puisi indonesia terkesan homespun/autodidact, but what a spin on things! misalnya idenya ttg puisi sebagai indeks semiotika dunia di sekelilingnya (makanya hampir setengah dari antologi arsitektur hujan-nya dimakan indeks!), dan bagaimana puisi jadi lebih menarik saat dunia jadi semakin susah untuk di-indeks-kan (terutama karena kemajuan teknologi–afrizal sudah sampai pada tahap membahas TV dan komputer, it would be fuckin interesting to know what he thinks of twitter!), yang mungkin saja mirip dengan ide2 formalisme rusia yang memberi ponten lebih kpd puisi yg lebih rumit dan padat hubungan puitik antara tiap elemen puisinya, tapi disampaikan dgn lebih simpel, dan karena homespun, juga lebih closer to home (harr harr), lebih relevan dgn kenyataan dunia puisi indonesia.

 

masih banyak lagi analisa2 afrizal ttg dunia/sejarah puisi indonesia yg menarik. yg aku ingat off the top of my head: “pembaca tidak memesan puisi modern”, dan “kritikus tanpa konvensi.” tapi yg juga menarik dan sempat membuat aku tertegun dengan kecemerlangan ide dan ketekunannya adalah cara dia mengutip puisi2 yg dia analisa di buku ini. jadi dia mengutip puisi hampir semua tidak dalam bentuk asli puisi itu ditulis tapi malah dengan menghilangan bentuk asli/tipografinya, menjadi seakan2 baris2 itu kalimat2 (prosa) biasa. jadinya seperti “apakah arti sajak ini, kalau anak semalam batuk2, bau viks dan kayu putih melekat di kelambu, kalau istri terus mengeluh tentang kurang tidur, tentang gajiku yang tekor” (subagio sastrowardoyo), atau “apa yang berharga dari puisiku, kalau adikku tak berangkat sekolah karena belum mebayar uang SPP. apa yang berharga dari puisiku, kalau becak bapakku rusak.” bahkan afrizal tidak memakai garis miring/yang kadang2 dipakai orang untuk memisahkan baris jika mengutip puisi.

 

afrizal melakukan ini karena macam2 hal. salah satunya, dia percaya teks bisa di-“mobilisasi”. baginya “teks tidak memiliki keharusan mengabdi hanya pada kesatuan orisinal dari konteks aslinya.” tentu ini berguna tatkala afrizal perlu teks untuk mendukung argumennya, dia bisa memobilisasi yg perlu! 😀

 

namun ada juga maksud lain (yg dia akui juga): “dengan metode pengutipan seperti ini pula, kelemahan2 puisi segera memperlihatkan dirinya… cenderung berubah jadi prosa atau sekadar catatan harian ketika ia dilepaskan dari rekayasa tipografinya.” ya haha, selain tekun dan cerdas, afrizal juga seorang penyindir yang sopan!

 

itu alasan yg dia akui. menurutku ada juga satu alasan yg jelas bisa dilihat juga dari baris2 subagio dan wiji thukul yg kukutip di atas (yg juga dikutip oleh afrizal berdekatan, dalam satu halaman). dia sering melakukan ini untuk menunjukkan (show not tell) dua atau lebih teks puisi yang saling mempengaruhi (kalau tidak saling contek) tanpa harus melancarkan j’accuse ala masteng2 sastra. contoh satu lagi selain di atas adalah waktu dia menyandingkan dua kutipan puisi ini: “meluruskan kain baju dahulu, meletakkan lekat sanggul rapi, lembut ikal rambut di dahi, pertarungan dimulai” (toeti heraty, 1974) dan “sekalian ucapan telah kuberi bingkai, jerat muslihat sebanyak rambut terurai, di tiap lipatan gaun bersembunyi isyarat.” (siti nuraini, 1969) hehehe, pandai ya afrizal.

 

tanpa menyebutkan sekali pun istilah pembacaan dekat/close reading, afrizal tanpa pamer diam2 telah melakukannya kepada puisi indonesia di buku ini. tidak seperti nirwan dewanto yg ngemeng melulu ttg pembacaan dekat tapi masih juga belum punya satu pun buku esei yg bukan kumpulan salinan makalah seminar!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: