Gogon or Diskursus or How To Survive Dunia Sastra Yang Penuh Dusta

picture of a sign saying "Markas Sarkas" on a red wall of a house behind white picket fence in Central Jakarta

I am a sensitive artist.

Nobody understands me because I am so deep.

In my work, I make allusions to books that nobody else has read,

Music that nobody else has heard,

And art that nobody else has seen.

I can’t help it, because I am so much more intelligent and well-rounded

Than everyone else who surrounds me.

I stopped watching TV when I was six months old

Because it was so boring and stupid,

And started reading books,

And going to recitals and art galleries.

I don’t go to art galleries anymore

Because there are people there,

And I can’t deal with people,

Because they don’t understand me.

I stay home, reading books that are beneath me,

And working on my work, which no one understands.

I am sensitive.

Sensitive Artist, King Missile

i am a sensitive artist, tapi kali ini aku akan cosplay menjadi i ain’t a sensitive artist! terlalu banyak tubir dalam skena sastra akhir-akhir ini terjadi karena orang-orangnya terlalu sensitif, bertelinga tipis, terburu-buru salty memaki konteks konteks kontol! daripada berusaha mengerti konteks omongan orang lain, cepet banget menganggap kritik sebagai bullying, reluctant buat appreciate Charisma, Uniqueness, Nerve, and Talent orang lain karena lebih gampang bilang, they’re just CUNTS. gogon figure.

jangan salah, gue juga suka gitu. pertama kali baca terjemahan-terjemahan bukowski hamzah dan kumpulan puisinya hompimpa alaium gambreng gue juga langsung menghakiminya sebagai “tryin too hard to b edgy n kewl” dan “hipermaskulin to a cringe fault” tapi kemudian gue inget sebuah meme yang suka jadi pegangan gue pas lagi cry cry di bawah pohon belimbing, disco!, merasa ga dimengerti oleh dunia:

*MEMENYA ILANG

*secarik kertas digital berfont comic sans SINI DEH NONGKRONG MA GUA KALOK CUMA DENGERIN ORANG LAIN MAH PASTI GUA DAPET TAI2NYA AJA

jadi nongkronglah gue di atelir, ketemu sama nunu, adib, aldi, andini, gielang, chika, endesbra endesbray, e_____y! wah ternyata biarpun puisi-puisi hamzah hipermasmaskulin doi ude ciptain space yang ramah, hiperintersectional, so diverse awww, buat girl-poets, kweer-poets, pasming-poet slash pastor swagstra nondenominational slash gatekeeper magang, marxists, lekraists, wow, mangstab juga ni ngabngab. my bad. bener juga waktu itu ada yang gogonin gue bilang “ah si mike, dia kan sok tau, dari bordieu sampai tai kebo dia juga pasti punya pendapat.”

walaupun di tatanan gatekeeping hamzah bekerjasama dengan gatekeeper-gatekeeper CEO yang gue berbeda pandangan, kontradiksi strategi ini dengan hawa-hawa non-establishment di safe space atelier ceremai yang doski bangun jadi menarik. gue akan lanjut meNENGARAi move-move politik sastra hamzah selanjutnya.

makenye (duh ketularan rawamangunese nih) semenjak sastra indonenong makin banyak cancel-cancelannya gue jadi makin setuju sama sarah schulman dan bukunya, “conflict is not abuse: overstating harm, community responsibility, and the duty of repair.” kalau diparafrase ala Adib Arkan ini jadi “lo berantem doang bilangnya bulla bully, jangan playing victim mulu lu, reach out dong, tongkrongin noh musuh-musuh lo”.

beneran deh, sebisa mungkin, walaupun digogonin separah apapun (“homophobic” anyone?), gue kalau bisa selalu berusaha cari tau dulu nape si ni anak salty amat, konflik sebenernya apa sih? ada ga sih yang gue katakan atau lakukan yang mungkin bikin mereka jadi terLUKA. bisa ga sih nongkrong bareng buat mengobatinya bersama? seringnya memang kesempatan ini ga ada, jauh lebih mudah spill di subtweet daripada ngobras di atelir. walau akhirnya twitwar lebih sering berujung crying over spilt milk. gogon figure.

kalau ada yang ngikutin drama Saut Situmorang vs. sunlie di fb kemarin mungkin udah denger juga bahwa mereka menyelesaikan perseteruannya dengan ketemu dan ngobras di JBS (Jual Buku Saut) dan sekarang mereka sudah berdamai. walaupun gue tep #timsaut karena kritik-kritiknya tentang kolonialisme, rasisme, yang ga kudus samsek di cerpen “keluarga kudus” pilihan kompas karya sunlie masih sangat valid dan belum terjawab, mereka berdua sudah nongkrong berdua untuk melaksanakan “duty of repair” tadi. demi sastra indonesia. hiphip hurahura. disco! gogon figure.

tapi memang untuk practice compassion toward others (yang berarti juga self-compassion) di dalam dunia sastra indonesia memang gak gampang. terlalu banyak tipu daya aka DUSTA (Saut™) yang bisa berbentuk macem-macem dari gatekeeping, gaslighting, hypocrisy, apropriasi, korupsi, virtue signaling, endesbraendesbray. sering rasanya gue merasakan cognitive dissonance yang parah waktu mencoba mengerti apa yang sebenernya terjadi dalam sastra indonesia. seperti kata almarhum eyang sapardi, “sebenernya begini, eh bilangnya begitu, gimana siiih.”

seorang penyair besar yang hobi nulis pake huruf kecil dan hobnobbing sama crème de la crème ada apa dengan cinta jakarta menghabiskan waktunya nyinyirin dan nyalahin “jawakarta”. memang benar jakarta adalah ndoro kolonial dalam banyak lini kehidupan di indonesia, tapi apakah kemudian juga benar untuk menyamaratakan semua anak skena sastra jawakarta, bahkan jaksel, sebagai privileged gatekeepers, seakan-akan semuanya punya akses ke pusat kekuasaan? apalagi jika tuduhan itu datang dari penyair terbesar, terlaris, terhegemonik seindonesia, rajakecil di tengah pusat kekuasaan indonesia tengah. warna apakah kemunafikan? gogon figure.

beberapa tahun lalu tersebar gogon yang sekarang udah jadi open secret di skena bahwa sebuah festival sastra internesyenel besar ternyata korup, fundingnya dikemplang sama organizernya. tapi ga pernah ada tuh laporan investigatif di tempo tentang ini, dan organizer-organizer tersebut juga sampai sekarang masih bebas aja CUAP-CUAP di skena seakan-akan nggak pernah terjadi apa-apa. gogon figure.

john mcglynn pernah jadi petinggi komite buku nasional kemudian mendaftar funding terjemahan buat yayasan lontarnya sendiri. don’t bite the hand that feeds… unless it’s your own hand? doublespeak macam apa ini? mending 🎶 don’t speak, i know just what you’re sayin’, so please stop explainin’, don’t tell me ’cause it hurts 🎵. gogon figure.

persidangan saut di-spin oleh denny ja dan komplotannya sebagai “sekedar” kasus sipil antara saut dan fatin hamama. namun orang yang mengikuti sastra tahu bahwa fatin dekat dengan denny ja dan gogonnya adalah apa yang terjadi pada saut adalah warning bagi baby saut-baby saut lain yang ingin bersuara. tapi ada yang tahu nggak kalau di persidangan suka hadir juga mohammad guntur romli dan nong mahmada jadi cheerleaders fatin? kenapa dua orang yang sangat dekat dengan salihara dan goenawan mohamad – yang praktek-praktek busuk politik sastranya dibongkar oleh saut – bela-belain dateng ke persidangan ini? apa hubungan mereka dengan kasus saut? apa hubungan goenawan mohamad dan denny ja? apakah kriminalisasi ini terjadi karena mereka punya satu common enemy, saut? gogon figure.

establishment sastra pertama yang gue kunjungi waktu balik for good ke jakarta tentu adalah progenitor salihara, teater utan kayu, establishment sastrawi paling menghegemoni waktu itu. suatu malam gue datang di acara diskusi buku laksmi pamuntjak, “perang, langit dan dua perempuan”. buku yang aneh, karena diiklankan sebagai “intervensi” laksmi terhadap intervensi simone weil dan rachel bespaloff terhadap iliadnya homer (waktu itu buku bespaloff lagi rada heitz karena baru aja diterbitkan lagi sama new york review books sans of setelah lama out of print), tapi mana nih intervensi laksmi-nya, kok nggak dateng-dateng? tapi tep aja, di diskusi itu seorang dosen filsafat dari bandung memuji-muji tulisan laksmi karena menurutnya “erudit”. waktu itu belum ada ivan lenin, jadi belum bisa “E_____Y pake D yang baik dan benar, cyeeeekkkk!” pas dia lagi-lagi memuji laskmi yang menyetujui interpretasi bespaloff tentang sob story priam ke brad pitt (biar dibolehin membawa jenazah eric bana balik ke troy), sesuatu yang dia anggap manusiawi aja, aku mengangkat tangan. “eh sori, tapi kan berabad-abad commentaries tentang passage ini banyak yang suggest kalau priam the old king slash political strategist slash spin doctor was just being cynical, cuman pengen ngelelehin hati achilleus aja? μνῆσαι πατρὸς σοῖο θεοῖς ἐπιείκελ’ Ἀχιλλεῦ, τηλίκου ὥς περ ἐγών, ὀλοῷ ἐπὶ γήραος οὐδῷ – achilleus cyin, plis deh, eke tu dah bau tanah kali kayak bokap lo jugak, sesama boomer zeus kita tu, ciyan kan dia, nah kamu gaosah galak-galak gitu juga deh sama eke. oke wak?” gm dengan salty berdiri di dalam teater black box yang nggak bener-bener black dan menjawab, “kita harus tetap berterima kasih kepada laksmi karena memperkenalkan bespaloff kepada kita.” gue jawab lagi dong, “kan yang memperkenalkan bespaloff kepada kita new york review books?” trus gue baru mau nyolot lagi, menquote the iliad dalam bahasa yunani kuno aslinya lagi, πρίν γ’ ἢ ἕτερόν γε πεσόντα – gua males sama elo!, misalnya, tapi ayu utami mengintervensi, “udah, udah”. di situlah gue mulai bertanya-tanya, katanya yang nongkrong di tuk orang-orang pinter, kok ternyata mereka basic banget sih? jadi, nongkrongin juga ada efek sebaliknya, yang dari jauh kayaknya emas berkilauan, begitu dideketin kadang-kadang ternyata taik juga. gogon figure.

selain ke tuk, waktu itu gue juga sering ke meja budaya, acara diskusi sastra yang diasuh martin aleida. bang martin orang baik, tapi setelah beberapa kali ke situ, gue mulai bertanya-tanya: satu, where are the gays; dua, where are the girls?; tiga, does humor exist in sastra indonesia? ironis juga bahwa kira-kira 10 tahun kemudian, gue berdiri di panggung teater kecil yang nggak kecil itu untuk mengumumkan pemenang sayembara manuskrip puisi dkj dan mendengar oooowgh *straight gasp* dari penonton waktu saya membacakan bahwa pemenang nomor satunya “menghadirkan tema yang jarang diolah secara demikian baik dalam puisi indonesia: kehidupan dan identitas homoseksual.” kesian deh waktu itu, masa pra-metoo, woke sebelum waktunya, tapi ga ndakik-ndakik enough buat pake istilah kweer.

makin ironis lagi, walaupun menjadi bagian dari dewan juri yang memenangkan buku ini, sergius mencari bacchus karya norman erikson pasaribu, cmiiw buku puisi mainstream pertama dalam sastra indonesia yang secara terbuka mengusung tema-tema kweer, sekarang gue malah dituduh “homofobik” di sebuah twitwar oleh penyair besar yang sukanya nulis pake huruf kecil tadi. warna apakah virtue signaling? gogon figure.

beberapa minggu lalu gue liburan ke ambon dan bertemu dengan penulis-penulis di sana. penyair, pemikir, theatre people. kita baca-baca puisi, ngobrol soal politik sastra, fafifuwakwekwok irl. gue terkejut mendengar bagaimana mereka punya perspektif yang sangat berbeda tentang “indonesia timur”, the hot issue sekarang ini. mereka tidak perlu saviour dari indonesia barat maupun indonesia tengah karena mereka percaya dengan agency mereka sendiri. mereka skeptis dengan politik identitas yang memecah-belah sastra indonesia menjadi “jawakarta” melawan “timur”. mereka tidak takut dengan jakarta, atau merasa perlu belas kasihannya karena mereka percaya dengan kerja-kerja yang mereka lakukan sendiri tanpa harus flexing di social media. mereka melihat twitwar yang makin sering terjadi gara-gara dikotomi ini dari kacamata perang saudara di ambon. mereka lebih tahu konsekuensi-konsekuensi apa saja yang bisa terjadi jika konflik disamaratasamarasakan dengan abuse. jika playing victim difafifuwasweswoskan jadi perjuangan. seminggu di sana gue jadi berpikir yang terluar, tertinggal, terbelakang itu siapa, mereka atau orang-orang yang sok jadi saviour dari pusat-pusat kekuasaan? jangan-jangan malah mereka yang terdepan, dalam wacana maupun kerja. gogon figure.

in times of universal dusta, telling the truth becomes a revolutionary act. tapi bagaimana kita mengakses kebenaran itu? dengan uu ite dan segala macam alat represi lainnya, kadang kebenaran hanya bisa dibisikkan secara lisan, digogonkan. ini bukan gosip, tapi “whispers network”. seberapa sering kalian merasakan cognitive dissonance saat membaca sesuatu yang kalian tahu adalah DUSTA diparadekan sebagai the truth di media sosialan? lupakan fafifuwasweswos di sana, bookmark aja meme-meme kocheng, nongkrong yuk cyin. di atelir, di pavpu, di gong perdamaian, di megathread X. bukan berarti gogon adalah infallible truth. tapi mendiskreditkan gogon, mendiskreditkan whispers network yang sering jadi satu-satunya alat untuk menyebarkan kebenaran, adalah bentuk kekerasan budaya juga. hidup principia gogonica!

Leave a comment