Purnama di Bukit Langit

Bunga rampai Purnama di Bukit Langit Zhou Fuyuan ini bukan bunga rampai puisi Tiongkok klasik yang pertama di Indonesia. Tahun 1949, Balai Pustaka pernah menerbitkan Himpunan Sajak Tionghoa susunan Mundingsari (harga f 1,60) yang berisi 39 sajak. Tahun 1962 (atau 1963?) sebuah badan bernama Komite Perdamaian Indonesia telah pula menerbitkan buku kecil berjudul Tu Fu (Rp 165) “dalam rangka memperingati 1250 tahun lahirnya pujangga besar Tiongkok Tu Fu yang sangat dicintai dan dihormati oleh Rakyatnya sendiri dan oleh Rakyat-rakyat lain di seluruh dunia” (huruf R besar untuk kata Rakyat memang asli dan disengaja dalam kata pengantarnya). Menurut sampulnya buku ini berisi terjemahan-terjemahan Amir Hamzah, Anas Ma’ruf, Ang Jan Goan, Mundingsari, Pramoedya Ananta Toer, Ramadhan K.H., dan sebuah kolektif misterius yang dinamakan Tiongkok Rakyat. Sayang Komite Perdamaian Indonesia ini mungkin terlalu sibuk menyiapkan pesta malam peringatan Tu Fu, atau mungkin terlalu asyik berpesta, (“23 Desember 1962 di gedung Lembaga Administrasi Negara Jakarta”), sehingga mereka lupa mencetak nama penerjemah setiap sajak. Selain lima sajak terjemahan Mundingsari yang diambil dari bunga rampainya di atas, 16 sajak yang lain masih menunggu detektif-detektif sastra untuk mengidentifikasi sidik gaya mereka. (Terjemahan Amir Hamzah (kalau memang ada) bukan sajak T(h)u Fu yang ia sertakan di kumpulan Setanggi Timur-nya.) Tahun 1976, giliran Budaya Jaya menerbitkan Puisi Cina Klasik, “dipilih dan diterjemahkan [dari versi bahasa Inggris Robert Payne dan Liu Wu-chi] oleh Sapardi Djoko Damono” (Sapardi juga menulis komentar untuk buku Zhou Fuyuan ini), yang berisi 56 sajak. Kemudian tahun 2001 lalu Wilson Tjandinegara menerbitkan Antologi Sajak Klasik Dinasti Tang, yang ia terjemahkan dari versi modern karya Xu Fang. Buku ini berisi 100 sajak. Cukup banyak, tapi bukan apa-apa dibanding 560 (!) sajak yang dihimpun dan dialihbahasakan Zhou Fuyuan (dari bahasa aslinya, Tiongkok Klasik) di bunga rampai Purnama di Bukit Langit ini.
Selain jumlah sajaknya yang jauh lebih banyak, perbedaan paling mencolok di Purnama di Bukit Langit adalah penyusunan dan gaya bahasanya. Bunga rampai ini dibagi menjadi dua bagian besar, yang pertama berisi sajak bergaya shi, dan yang kedua berisi sajak bergaya ci dan qu. Ini biasa saja. Li Po dan Tu Fu, mata kiri dan kanan puisi klasik Tiongkok itu, menulis puisi-puisi mereka dalam bentuk shi, dan karena itu Purnama di Bukit Langit bukan bunga rampai pertama yang memberi porsi lebih besar (kalau bukan semua) untuk puisi berbentuk ini. Dalam bunga rampai Zhou Fuyuan dua bagian besar itu masing-masing dibagi lagi menjadi bagian-bagian lebih kecil yang dihimpun berdasarkan tema, yang diberi judul seperti “Rembulan di Rantau”, “Keluhan Musim Semi”, dan “Reruntuhan Masa Silam”—dan tiap judul masih diurutkan lagi berdasarkan dinasti, dari yang paling awal, Zhou, sampai dinasti terakhir sebelum zaman modern, Qing.

Mengumpulkan puisi (atau esei, cerpen, seni apapun) berdasarkan tema mungkin langkah berani. Atau berani mati? Siapa bisa menjamin sebuah puisi tentang rembulan di rantau tidak juga mengeluh tentang musim semi dan reruntuhan masa silam? Bukankah menyimpulkan tema sebuah puisi sama saja dengan mencoba mencekik nafas puisi itu? Mungkinkah menghimpun puisi berdasarkan tema menunjukkan sempitnya cara baca penghimpunnya?

Kenapa misalnya tidak ada tema “Kematian”, padahal banyak sekali puisi di bunga rampai ini yang berbicara tentang itu? Apakah Zhou Fuyuan terpengaruh pengarang-pengarang tak bernama dalam Kitab Nyanyian yang begitu takut dengan kematian sehingga mereka berusaha sebisa mungkin tidak menyebut namanya?

Kelihatannya, tema-tema di buku Zhou Fuyuan tidak punya tujuan seserius (atau sesengaja) itu. Mereka sekedar memudahkan pembaca mencari puisi macam apa yang sedang ingin ia baca, seperti papan-papan tema di rak kartu Hallmark. Judul-judul temanya pun, seperti kartu Hallmark juga, sentimental. Selain tiga di atas tadi, juga ada “Buah Rindu”, “Senandung Air & Bukit”, “Derita Pengembara”. Melihat keinginannya memanjakan pembaca, termasuk kerakusannya mengumpulkan sebanyak mungkin puisi, penyair, dan dinasti, mungkin Zhou Fuyuan memang ingin bunga rampai ini menjadi semacam primer Puisi Klasik Tiongkok, mungkin seperti The Columbia Book of Chinese Poetry-nya penerjemah puisi Tiongkok (dan Jepang) legendaris Burton Watson—dan ia pun berhenti cuma sampai Dinasti Sung (abad 13)!

Bagaimana dengan mutu terjemahannya sendiri? Mungkin terjemahan Zhou Fuyuan tidak akan memodernisasi puisi Indonesia seperti Ezra Pound merontokkan bunga-bunga Victoria dari puisi (berbahasa) Inggris (menggantinya dengan colongan bahasa Yunani Kuno, Itali, Prancis, ideogram Cina!), sekaligus memelopori Imagisme, Vortisisme, Modernisme, etc., hanya dengan kumpulan tipis terjemahan puisi klasik Tiongkoknya, Cathay. Bahasa Zhou Fuyuan, diksinya, rimanya yang teratur bagai pantun, struktur barisnya, sekilas terdengar kuno, sangat Pujangga Baru. Lebih Amir Hamzah daripada Bunga Matahari.

Zhou Fuyuan juga memilih untuk menyamakan jumlah kata per baris terjemahannya dengan jumlah karakter per baris di puisi aslinya. Empat karakter di sebaris puisi dari Kitab Nyanyian, empat kata di baris terjemahan Zhou Fuyuan. Keputusan ini membuat proses penerjemahan Zhou Fuyuan jadi seperti sebuah permainan (belum lagi mengarang rimanya yang teratur). Kebetulan, ini cocok dengan semangat bermain-main penyair-penyair klasik Tiongkok, yang sering menulis puisi beramai-ramai, saling meniru rima (atau malah kata) yang dipakai temannya, bahkan mengundi rima apa yang akan mereka pakai.

Menerjemahkan karakter Tiongkok yang (walaupun tidak selalu) seperti sebuah gambar ke dalam sebuah kata bahasa Indonesia yang (kebanyakan walaupun tidak semua) berupa tanda untuk sebuah gambar bisa jadi permainan yang rumit. Contohnya baris terakhir dari puisi Wang Wei yang terkenal, “Lu zhai” (di bunga rampai ini diterjemahkan sebagai “Pesanggrahan Rusa”). Kalau diterjemahkan per karakter baris ini akan berbunyi “kembali-bersinar-hijau-lumut-atas” (lima karakter); Zhou Fuyuan menerjemahkannya menjadi “kembali menapak di atas hijau lelumutan”. Zhou Fuyuan memang terpaksa curang menganggap “di atas” sebagai satu kesatuan, satu kata, untuk memenuhi prinsip satu karakter satu kata tadi (dia juga mengganti rima puisi jue qu ini dari a-b-c-b menjadi a-a-b-b, tapi ini soal lain lagi), tapi, walaupun kadang-kadang dia melakukan kecurangan-kecurangan kecil seperti ini (poetic licence-lah) biasanya Zhou Fuyuan berhasil mematuhi aturan buatan sendiri itu tanpa mengurangi kepuitisan terjemahannya.

Perhatikan pilihan Zhou Fuyuan untuk mengganti kata “bersinar” dengan “menapak”. Bandingkan dengan, misalnya, terjemahan Kenneth Rexroth, “And gleam again on the shadowy moss”, atau Gary Snyder (dua duta puisi Tiongkok dalam bahasa Inggris), “Again shining/on green moss, above.” Puisi ini sudah sering sekali diterjemahkan (lihat buku 19 Ways of Looking at Wang Wei), dan ada dua masalah yang selalu diperdebatkan di baris terakhir ini, di mana “atas” itu, apakah lumut itu benar-benar di “atas”, menempel di cabang-cabang pohon, atau merekat di “atas” batu-batu (tentu saja di “bawah”, di tanah) dan seperti apa sebenarnya (apa artinya, apakah ini sebuah simbolisme Amida Buddha, seperti usul Octavio Paz) “kembali-bersinar” itu.

Di sini Zhou Fuyuan, seperti Rexroth, menghindari menyebutkan lumut itu ada di mana (di mana-mana?), tapi tidak seperti Rexroth dan Snyder yang memilih terjemahan standar “gleam again” dan “Again shining” untuk “kembali-bersinar”, Zhou Fuyuan mengusulkan “kembali menapak”. “Menapak” membuat sinar di Pondok Rusa Zhou Fuyuan, tidak seperti di “Deer Camp” Gary Snyder ataupun di “Deep in the Mountain Wilderness”-nya Kenneth Rexroth, bebas bergerak. Ke mana-mana. Ke atas, ke bawah, ke atas lagi. Di mana pun lumut itu ada. Personifikasi “menapak” mengubah frase garing “kembali-bersinar” menjadi gambar yang hidup—bukan sebuah personifikasi yang sekedar sok puitis.

Ini mungkin bukti bahwa Zhou Fuyuan bukan hanya seorang penerjemah, tapi juga seorang penyair. Yang bukan hanya mengalihkan kata-kata tapi juga gambar dan rasa, dan menciptakan kembali (merepatriasi?) apapun itu yang kita rasakan sebagai “puisi” dalam versi aslinya.

RINDU MALAM

Sinar purnama di depan pembaringan,
embunkah yang membeku di pelataran?
Tengadah menatap rembulan purnama,
tertunduk mengingat kampung halaman.

[Li Bai (Li Po)/Zhou Fuyuan]

SAMADI DI MALAM SEPI

Kusaksikan cahaya bulan bersinar di tempat tidurku,
Barangkali salju lembut telah melayang jatuh?
Kuangkat kepalaku menatap bulan di bukit,
Kemudian tertunduk kembali merenungi bumi.

[Li Bai (Li Po)/Sapardi Djoko Damono]

THOUGHTS IN NIGHT QUIET

Seeing moonlight here at my bed,
and thinking it’s frost on the ground,

I look up, gaze at the mountain moon,
then back, dreaming of my old home.

[Li Bai (Li Po)/David Hinton]

Hanya versi Zhou Fuyuan yang mempertahankan keabsenan “aku” yang menjadi salah satu ciri khas puisi klasik Tiongkok yang selalu berusaha keras menghapus diri penciptanya sehingga yang tersisa hanya puisi itu sendiri. (Pertimbangkan juga, tanpa “aku” pembaca bisa hadir langsung, menjadi “aku” yang tak disebut, dalam puisi itu.) Versi Sapardi mungkin terpengaruh imagisme, no ideas but in things!, sehingga hal terabstrak di puisi ini, “home”/”kampung halaman”, dia konkretkan menjadi “bumi” (satu-satunya yang pernah saya lihat dari banyak terjemahan puisi ini). Sementara versi David Hinton, terutama judulnya, terdengar hampir seperti bahasa Inggris pidgin. Mungkin dia berusaha mempertahankan kepadatan makna ideogram Tiongkok (see-moonlight-bed/think-frost-ground), hal yang sebenarnya juga telah dilakukan Zhou Fuyuan (mungkin) tanpa sengaja dengan strategi satu karakter satu kata tadi. Pengkupletan dua baris yang idenya bertentangan tapi strukturnya mirip (“tengadah-tertunduk”, “I look up-then back”) juga dipertahankan di versi Zhou Fuyuan dan David Hinton, malah Hinton terang-terangan memecah puisi empat baris ini jadi dua kuplet.

Kesetiaan pada puisi asli menghasilkan terjemahan yang baik, dan puisi yang buruk. Ini maksim yang sering terbukti kebenarannya. Tapi apakah sebaliknya juga pasti benar, bahwa ketidaksetiaan akan menghasilkan puisi yang baik? Mungkin (Cathay). Mungkin tidak (beberapa terjemahan puisi klasik Tiongkok William Carlos Williams—mungkin karena dia baru mulai di umur 74 tahun). Mungkin juga baik-buruknya sebuah puisi terjemahan tidak ada hubungannya dengan kesetiaan pada puisi asli. Mungkin hanya kepenyairan penerjemahlah yang menentukan mutu puisi terjemahan. Titik.

“Rindu Malam” Zhou Fuyuan saya rasa, sebagai puisi Indonesia, walaupun gayanya kuno, nyaris berpantun, adalah puisi yang bahasa dan gambarnya bersih serta isinya menyentuh (sehingga kita lupa dengan bahasanya yang kedaluwarsa). Di dua larik pertama, yang sekilas seperti lampiran pantun, pembaca menjadi “aku” yang tiba-tiba terbangun, mungkin dari tidur (karena dia berada di dekat “pembaringan”), mungkin juga dari mabuk berat (kita tahu Li Bai seorang pemabuk ulung). Antara sadar dan tak sadar, “aku” bingung, cahaya putih itu, sinar purnamakah? Atau embun yang membeku? (Atau embun beku yang memantulkan sinar purnama?). Kebingungan, keraguan abadi manusia akan mana yang nyata dan tak nyata tergambar, terasa, sangat menggigit di sini. Kebingungan itu hilang setelah “aku” “tengadah” menatap bulan, tapi segera diganti dengan sesuatu yang lebih mengerikan: kesepian dan keterasingan. “Aku” teringat akan kampung halaman, jauhnya diriku dari situ, dan perkongsian antara ingatan dan kenyataan itulah yang memaksaku kelu “tertunduk”.

Semua ini jelas terasa, bahkan tanpa catatan kaki yang disediakan Zhou Fuyuan di akhir puisi ini (dan menyertai banyak puisi yang lain). Tanpa kita tahu bahwa “bulan yang sempurna menjadi simbol bersatunya keluarga.”

Bandingkan dengan “Samadi di Malam Sepi” Sapardi Djoko Damono. Satu lagi pengaruh imagisme di sini adalah nada baris-barisnya yang (dibuat) mirip percakapan (atau monolog kali ini). Puisi ini, kecuali judulnya, terasa modern. Tapi kenapa “aku” di sini “tertunduk … merenungi bumi”? Gambar di sini sangat jelas, sinematik, si aku menunduk menatap lantai di dekat cagak kasurnya, tapi, selain kenapa dia merenung (dan kelihatannya dia sudah lama merenung, “cahaya bulan” itu merusak renungannya, sekarang dia “kembali merenung”), apa yang dia renungkan, apakah bumi itu sendiri (yang dirajam pemberontakan An Lu-shan dan memaksanya melarikan diri?), atau sesuatu yang lain yang diwakili oleh kata “bumi” itu (mungkin dia sedang bersamadi tentang bumi sebagai bagian dari kosmos Zen Buddhisme)? Apakah Sapardi sedang mengikuti petuah Wei T’ai, kritikus jaman Dinasti Sung yang mengatakan, “Puisi menyuguhkan benda untuk membangkitkan perasaan. Secermat mungkin tentang bendanya dan sehemat mungkin tentang perasaannya”? Kalaupun ini benar, puisi Sapardi ini begitu hemat dengan perasaannya sehingga hampir tidak ada rasa yang tersisa. Puisi ini menjadi sebuah puisi simbolik yang memerlukan, ya, catatan kaki semacam yang disediakan Zhou Fuyuan untuk puisinya.

Selain catatan kaki, Zhou Fuyuan juga menyediakan kata pengantar berisi sejarah singkat puisi klasik (dan politik dinasti) Tiongkok, dua komentar dari Sinologis Leo Suryadinata dan (sudah saya bilang) Sapardi Djoko Damono sendiri, serta biografi singkat ”16 Tokoh Penyair Penting”. Semua itu mungkin tidak begitu perlu. Terjemahan-terjenahan di bunga rampai Purnama di Bukit Langit ini, seperti “Rindu Malam” tadi, adalah puisi-puisi Indonesia yang cukup kuat untuk berdiri sendiri.

2 thoughts on “Purnama di Bukit Langit

Leave a comment